4 Prinsip Keseimbangan Hidup
https://brillyelrasheed.blogspot.com/2015/02/4-prinsip-kesimbangan-hidup.html
Oleh Dr. Ahmad Zain An-Najah, MA
Allah telah memberikan predikat
kepada umat Islam sebagai umat yang pertengahan, yaitu umat yang berada di
tengah-tengah antara umat-umat lainnya. Umat yang berada di tengah karena mampu
menyeimbangkan dan meratakan amal dalam seluruh aspek kehidupan ini. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَكَذَلِكَ
جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ
الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا)) [البقرة:
143]
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat
Islam), umat yang pertengahan, agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia
dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” (Al-Baqarah:
143)
Umat Islam menjadi umat yang
pertengahan dan mampu menjadi saksi bagi umat-umat yang lainnya karena
mempunyai beberapa kelebihan, Di antaranya adalah:
Pertama, seimbang antara imu dan amal.
Seorang Muslim dalam hidupnya harus
bisa menyeimbangkan antara ilmu dan amal. Tidak boleh hanya menekankan ilmu
saja, tanpa diimbangi dengan amal perbuatan yang nyata. Sifat seperti ini adalah
sifat yang dimurkai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana firman-Nya,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ2 كَبُرَ مَقْتًا
عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُون
“Wahai orang-orang yang beriman,
mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian
di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”
(Ash-Shaf: 2-3)
Mengatakan sesuatu yang tidak
dikerjakan, artinya seseorang hanya berkutat pada teori belaka dan berjalan di
atas konsep yang kosong. Dia menjadikan ajaran Islam hanya sebagai Islamologi,
ilmu pengetahuan tentang Islam yang hanya dibicarakan, didiskusikan dan
diseminarkan tanpa ada praktik dalam kehidupan sehari-hari. Lebih ironis lagi,
amalan sehari-harinya justru bertentangan dengan ajaran Islam yang biasa ia
bicarakan di berbagai tempat.
Ini adalah sifat orang-orang Yahudi,
mereka dikarunia oleh Allah ilmu yang sangat banyak, tetapi perbuatan mereka
tidak mencerminkan ilmu dimiliki, justru digunakan untuk membuat kerusakan di
muka bumi dengan menipu dan membodohi orang lain demi kepentingan dunia mereka.
Orang-orang Yahudi inilah yang dimurkai Allah di banyak tempat dalam Al-Qur’an.
Di sisi lain, umat Islam juga tidak
boleh hanya menekankan amal ibadah saja, tanpa diimbangi dengan ilmu yang
cukup. Sebelum beramal harus diketahui dulu teori dan ilmunya, sehingga
diharapkan amal yang dilakukan tersebut benar dan tidak menyeleweng, sehingga
dia akan berjalan pada jalan yang lurus dan benar yang akan mengantarkannya
pada tujuan. Beramal tanpa disertai ilmu yang cukup akan menyebabkan seseorang
tersesat di jalan, sehingga tujuannya tidak akan tercapai. Inilah yang
dilakukan oleh orang-orang Nashrani yang bersemangat di dalam beribadah, tetapi
malas menuntu ilmu sehingga dicap oleh Allah semoga umat yang sesat.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
menggambarkan ketiga umat ini dengan cirinya masing-masing di dalam surat
Al-Fatihah,
(اهْدِنَا
الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ 6 صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ
الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ 7)[الفاتحة:6-7]
“Tunjukilah kami jalan yang lurus,
(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan
(jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (Al-Fatihah:
6-7)
Jalan yang lurus adalah jalannya umat
Islam, yaitu umat yang menggabungkan antara ilmu dan amal secara bersamaan.
Sedang jalan orang-orang yang dimurkai oleh Allah adalah jalannya umat Yahudi
yang hanya menekankan keilmuan tapi kosong dari pengamalan. Sedang jalan
orang-orang yang sesat adalah jalannya umat Nashara yang hanya semangat di
dalam beribadah, tapi tidak punya bekal ilmu yang cukup.
Kedua, seimbang antara rasa takut dan harapan.
Seorang Muslim di dalam hidupnya
tidak boleh selalu diliputi rasa takut terhadap dosa-dosa yang dikerjakannya,
sehingga menimbulkan rasa putus asa terhadap rahmat dan ampunan dari Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Sebaliknya pula, dia juga tidak boleh berlebihan di dalam
mengharap rahmat dan ampunan Allah sehingga meremahkan dosa-dosa yang
dikerjakan, bahkan menganggap enteng dosa besar dengan dalih bahwa Allah Maha
Pengampun.
Muslim yang baik mampu menggabungkan
antara kedua hal di atas. Yaitu menggabungkan rasa takut terhadap siksaan Allah
karena dosa-dosanya dan dalam waktu yang sama, dia sangat mengharap rahmat dan
ampunan dari-Nya. Dua hal ini merupakan dua sayap orang Muslim yang baik,
sehingga dengan keduanya dia mampu terbang ke angkasa dengan bebas dan penuh
percaya diri. Jika salah satu dari kedua sayap itu tidak ada, maka secara
otomatis dia akan terjatuh di jurang kehancuran di dunia dan di akhirat kelak.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
menggambarkan dengan indah kedua hal tersebut yang terdapat dalam diri seorang
Muslim yang baik.
(أُولَئِكَ
الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ
وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ
مَحْذُورًا )
“Orang-orang yang mereka seru itu,
mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang
lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya.
Sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti.” (Al-Isra’: 57)
Ketiga, seimbang di dalam menjalankan ajaran agama. Sehingga tidak bersikap berlebihan (ifraath) dan juga tidak bersikap meremehkan (tafriith)
Seorang Muslim tidak boleh
berlebih-lebihan dalam menjalankan ajaran Islam, yaitu melampaui batas dari apa
yang telah ditetapkan oleh Allah dan rasul-Nya. Misalnya berlebih-lebihan dalam
melaksanakan shalat tahajud sehingga tidak ada waktu tidur sama sekali, yang
membuatnya lemah dan kusut pada pagi hari, serta tidak semangat menjalani
kehidupan sehari-hari karena belum istirahat semalam penuh. Begitu juga seorang
Muslim tidak boleh melakukan puasa ngebleng (puasa tiap hari) tanpa berbuka
sedikit pun, atau membujang selamanya, tidak mau menikah dengan seorang
perempuan dengan dalih bahwa menikah itu akan melalaikan ibadahnya.
Itu semua adalah bentuk-bentuk
berlebihan di dalam menjalankan ajaran agama yang dilarang di dalam Islam.
Islam mengajarkan kepada umatnya untuk selama seimbang di dalam ibadah dan
amalannya. Dalam suatu Hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik
radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
جَاءَ
ثَلَاثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوتِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَسْأَلُونَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَلَمَّا أُخْبِرُوا كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوهَا فَقَالُوا وَأَيْنَ
نَحْنُ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ غُفِرَ لَهُ مَا
تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ قَالَ أَحَدُهُمْ أَمَّا أَنَا فَإِنِّي
أُصَلِّي اللَّيْلَ أَبَدًا وَقَالَ آخَرُ أَنَا أَصُومُ الدَّهْرَ وَلَا أُفْطِرُ
وَقَالَ آخَرُ أَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلَا أَتَزَوَّجُ أَبَدًا فَجَاءَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيْهِمْ فَقَالَ أَنْتُمْ
الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ
وَأَتْقَاكُمْ لَهُ لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ
وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“Ada tiga orang mendatangi rumah
istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan bertanya tentang ibadah Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam dan setelah diberitakan kepada mereka, sepertinya
mereka merasa hal itu masih sedikit bagi mereka. Mereka berkata, “Ibadah kita
tak ada apa-apanya dibanding Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, bukankah
beliau sudah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan juga yang akan datang?”
Salah seorang dari mereka berkata, “Sungguh, aku akan shalat malam
selama-lamanya.” Kemudian yang lain berkata, “Kalau aku, maka sungguh, aku akan
berpuasa Dahr (setahun penuh) dan aku tidak akan berbuka.“Kemudian datanglah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada mereka seraya bertanya, “Kalian
berkata begini dan begitu. Ada pun aku, demi Allah, adalah orang yang paling
takut kepada Allah di antara kalian, dan juga paling bertakwa. Aku berpuasa dan
juga berbuka, aku shalat dan juga tidur serta menikahi wanita. Barangsiapa yang
benci sunnahku, maka bukanlah dari golonganku.” (HR. Bukhari, No. 4675)
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah
radhiyallahu ’anhu, Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ
الدِّينَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ فَسَدِّدُوا
وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ
مِنْ الدُّلْجَةِ
“Sesungguhnya agama itu mudah, dan
tidaklah seseorang (mempersulit diri berlebih-lebihan) di dalam mengamalkan
agama ini, kecuali dia akan dikalahkan (semakin berat dan sulit) Maka
berlakulah lurus kalian, mendekatlah (kepada yang benar) dan berilah kabar
gembira dan minta tolonglah dengan Al-Ghadwah (berangkat di awal pagi) dan
ar-ruhah (berangkat setelah zhuhur) dan sesuatu dari ad-duljah (berangkat di
waktu malam).” (HR. Bukhari, No.38)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga melarang
umat-umat terdahulu untuk tidak berlebihan di dalam mengamalkan agama.
Sebagaimana larangan Allah kepada ahlul kitab di dalam firman-Nya,
(قُلْ
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ وَلَا
تَتَّبِعُوا أَهْوَاءَ قَوْمٍ قَدْ ضَلُّوا مِنْ قَبْلُ وَأَضَلُّوا كَثِيرًا
وَضَلُّوا عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ )[المائدة: 77]
“Katakanlah, “Hai Ahli Kitab,
janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam
agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat
dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan
(manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus.” (Al-Maidah: 77).
di samping larangan berlebih-lebihan
di dalam melaksanakan ajaran agama Islam, seorang Muslim dituntut juga untuk
tidak meremehkan dan bermalas-malasan. Jadi harus seimbang dan bersikap wajar.
Keempat, kesimbangan antara urusan dunia dan akhirat.
Muslim yang baik dituntut untuk
memikirkan dan mempersiapkan diri untuk mencari bekal yang akan dibawanya ke
alam akhirat kelak, pada saat yang sama dia tidak boleh melupakan keberadaannya
di dunia yang dia jalani ini. Dalam hal ini Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman,
(وَابْتَغِ
فِيمَا آَتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآَخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ
الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ
فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ) [القصص: 77]
“Dan carilah pada apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu
melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada
orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berbuat kerusakan.” (Al-Qashash: 77).
Ayat di atas memberikan isyarat
kepada kita tentang konsep keseimbangan dalam hidup seorang Muslim. Di
antaranya adalah memadukan antara kepentingan dunia dan akhirat sekaligus. Oleh
karenanya, tidak boleh seorang Muslim hanya mementingkan kehidupan akhirat
saja, tanpa pernah memikirkan kehidupan dunianya.
Sangat tidak dibenarkan apa yang
dilakukan oleh sebagian kaum Muslimin yang aktivitasnya hanya duduk-duduk di
pojok-pojok masjid bermunajat kepada Allah, berdzikir, berdoa kepada Allah tapi
pada saat yang sama mereka tidak bekerja mencari nafkah untuk istri dan
anaknya, tidak bergaul dengan masyarakat serta menjauhi kehidupan dunia yang
kita diperintahkan untuk memakmurkannya. Bahkan lebih ironis lagi, mereka
bergantung kepada belas kasih orang lain di dalam mempetahankan hidup mereka
padahal mereka mampu bekerja.
di sisi lain, kita dapatkan sebagian
kaum Muslimin yang lain disibukkan dengan mengumpulkan perhiasan dunia dan
mengumbar hawa nafsunya dengan kenikmatan-kenikmatan dunia yang semu. Mereka
menghabiskan waktu mereka untuk memburu harta, tanpa ada sisa waktu sedikit pun
untuk memperbaiki agama dan kehidupan akhirat mereka, bahkan tidak waktu untuk
istri dan anak-anak mereka.
Sikap yang paling tepat adalah
memadukan antara kepentingan dunia dan akhirat sekaligus, mencari dunia tanpa
megorbankan akhirat dan memperhatikan akhirat tanpa mengabaikan kehidupan
dunia.
Rasulullah Shallallahu alaihi
wasallam mengajarkan kepada kita doa untuk kepentingan dunia dan akhirat. Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ اللَّهُمَّ أَصْلِحْ لِي دِينِي الَّذِي هُوَ
عِصْمَةُ أَمْرِي وَأَصْلِحْ لِي دُنْيَايَ الَّتِي فِيهَا مَعَاشِي وَأَصْلِحْ
لِي آخِرَتِي الَّتِي فِيهَا مَعَادِي وَاجْعَلْ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لِي فِي
كُلِّ خَيْرٍ وَاجْعَلْ الْمَوْتَ رَاحَةً لِي مِنْ كُلِّ شَرٍّ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam pernah berdoa sebagai berikut, “Ya Allah ya Tuhanku, perbaikilah
bagiku agamaku sebagai benteng urusanku, perbaikilah bagiku duniaku yang
menjadi tempat kehidupanku, perbaikilah bagiku akhiratku yang menjadi tempat
kembaliku! Jadikanlah ya Allah kehidupan ini mempunyai nilai tambah bagiku
dalam segala kebaikan dan jadikanlah kematianku sebagai kebebasanku dari segala
kejahatan!” (HR. Muslim, No. 4897)
Buku Golden Manners (Cet. 1/Des. 2014)
Penerbit Samudera (CV. Arafah Group)
Rp 60.000,- (Dis. 35 % off)
Hubungi,
Komentar Anda sangat berharga bagi kami. Jika Anda mendukung gerakan kami, sampaikan dengan penuh motivasi. Jangan lupa, doakan kami agar istiqamah beramal dan berdakwah. Klik juga www.quantumfiqih.com dan goldenmanners.blogspot.co.id