Konsultasi Syariah *137 - Poligami Jangan Serumah*
_Pertanyaan_
Bismillah.
Assalamu'alaikum..
Afwan Ust. Saya mau nanya. 燎 Bgmana cara membagi hak istri jika suami beristrikan 4 orang .? Kalau pembagian harta bagaimana ust.? Trmasuk di dalamny, pembelanjaan, perhiasan dsb Klau misalnya 1 rumah untuk 4 istri, gmana ust.? Terimakasih. Semoga Allah mmbalas kebaikan ust.
Wassalam
Ditanyakan oleh Saudari *Isfah* dari Makassar pada _27 November 2017_
_Jawaban_
Wa'alaikumussalam...
Saya salut kepada Mbak Isfah. Belum menikah tapi sudah menanyakan perihal adab poligami. Masyaallah.
Hak pembagian malam adalah haqq adamiy (hak sesama manusia) sehingga terserah kesepakatan seluruh istri. Namun suami harus tetap adil dalam artian sama rata. Jika seorang istri mendapatkan jatah bersama suami selama 4 hari, ya istri lain juga berhak bersamanya selama 4 hari. Kecuali ada istri yang memberikan jatahnya kepada istri yang lain. Dalam hal pembagian harta maupun nafqah harus sama rata, sekalipun ada istri yang punya banyak anak, ada yang mandul. Kalau pembagian warisan, ada aturannya sendiri.
⛱ Poligami 4 istri, 3 istri, 2 istri tidak boleh serumah, kecuali rumahnya terdiri atas empat tiga dua blok yang berbeda, dan keempat istri ridha. Betul keempatnya adalah istrinya dan halal. Namun kita harus melihat praktek poligami yang dilakukan Nabi, tidak ada satupun yang disatukan dalam sebuah rumah. Lebih dari itu, kecenderungan permusuhan antar istri sangat besar jika disatukan dalam sebuah rumah.
Dalam Syarh Mukhtashar Khalil karya Al-Khurasyi diterangkan, "Seorang laki-laki boleh menggabungkan dua istrinya dalam satu rumah dengan dua syarat: Pertama, Masing-masing istrinya memiliki kamar tersendiri dengan perabotnya dan kebutuhannya seperti toilet, dapur, dan semisalnya yang menjadi kebutuhannya. Kedua, keduanya ridla terhadap hal itu, tidak beda antara istri dua, tiga atau empat. Jika keduanya tidak ridha dengan hal itu, maka sang suami tidak boleh menggabungkan kedua istrinya dalam ruangan berbeda dalam satu rumah. Bahkan, dia wajib menyediakan rumah untuk masing-masing dan tidak harus rumah keduanya berjauhan."
Jika tempat hunian memiliki sebuah pintu secara khusus untuknya dan memiliki perlengkapan khusus, dapur dan tempat jemuran, maka boleh bagi suami untuk mengumpulkan mereka dalam rumah tersebut sekalipun tanpa keridhaan istri-istrinya. Adapun jika rumah tersebut tidak memiliki pintu, kamar mandi, dapur dan jemuran yang khusus bagi masing-masing atau hanya memiliki kamar-kamar bagi masing-masing istri maka tidak boleh bagi sang suami untuk mengumpulkan mereka semua kecuali dengan keridhaan mereka semuanya. Begitu pula dalam keadaan safar [perjalanan jauh], dimana mereka berdiam dalam satu kamar atau dalam satu tenda maka pada kondisi yang demikian boleh mengumpulkan mereka dengan keridhaan atau tidak dengan keridhaan mereka karena darurat.
Ibnu Qudamah berkata, “Diwajibkan bagi masing-masing istri memiliki rumahnya sendiri; karena hal itu dibutuhkan untuk tempat tinggal, melindungi diri dari pandangan banyak orang; untuk melakukan banyak hal di dalamnya dan bersenang-senang, hal itu sesuai dengan kebutuhan mereka, sebagaimana yang telah kami sebutkan dalam hal nafqah” *[Al-Kafi fi Fiqhi Ibnu Hanbal 3/231]*
Syaikh Al-Munajjid memberikan catatan, “Jika para istri berkumpul dalam satu rumah, maka tidak dibolehkan bagi mereka berpakaian ketat, berpakaian transparan dan atau berpakaian pendek yang akan menampakkan auratnya. Tidak boleh bagi salah satu istrinya menyingkap bagian dari tubuhnya di hadapan istrinya yang lain, kecuali yang biasa nampak dan masih dianggap menjaga kehormatannya dan tidak lebih dari itu. Dia boleh membuka wajah, kepala, lehernya, hasta dan kedua telapak kakinya.”
“Haram bagi suami berhubungan badan [jima’] dengan salah seorang istrinya di hadapan istri yang lain karena di dalamnya bertentangan dengan sifat kemanusiaan. Manusia yang telah dimuliakan oleh Allah ini berbeda dengan binatang. Manusia yang memiliki fitrah yang waras tidak akan menerima jenis jima’ seperti ini.” *[Al-Fiqh ‘Ala Madzhabi Al-Arba’ah 4/223]*
Menyatukan beberapa istri dalam satu rumah saja makruh, apalagi menyatukan beberapa istri dalam sebuah kamar lalu berjima’ bersama. Mutlak haram. Mencium istri dan bermesraan dengan istri dengan diketahui istri yang lain merupakan perbuatan yang tidak selayaknya dilakukan. Karena dalam perbuatan ini telah menghilangkan rasa malu dan menyingkap tabir yang selayaknya ditutupi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Malu itu salah satu cabang iman.” *[Muttafaq ‘alaihi]* dalam riwayat Bukhari, “Rasa malu itu hanya mendatangkan kebaikan“, dalam riwayat Muslim disebutkan, “Rasa malu itu semuanya baik.“. Sementara dalam riwayat Al-Bukhari disebutkan, “Sesungguhnya wasiat yang pertama kali dipahami oleh manusia dari ucapan para nabi adalah jika tidak malu silahkan lakukan sesukamu.” Jika berciuman di hadapan istrinya yang lain saja hukumnya terlarang karena telah merobek rasa malu maka bagaimana lagi dengan jima. Kami telah menjelaskan di fatwa yang lain akan haramnya berjima’ dengan istri dan diketahui istri yang lain. *[Fatawa Syabakah Islamiyah, dibawah bimbingan Syaikh Dr. Abdullah Al-Faqih, no. 27093]*
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menempatkan istri-istri beliau dalam rumah yang terpisah. Di antaranya hadits Aisyah berikut ini radhiyallahu ‘anha,
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ,كَانَ يَسْأَلُ فِي مَرَضِهِ الَّذِي مَاتِ فِيْهِ: أَيْنَ أَنَا غَدًا، أَيْنَ أَنَا غَدًا؟ يُرِيْدُ يَوْمَ عَائِشَةَ، فَأَذِنَ لَهُ أَزْوَاجُهُ يَكُوْنُ حَيْثُ شَاءَ، فَكاَنَ فِي بَيْتِ عَائِشَة حَتَّى مَاتَ عِنْدَهَا.
Saat sakit yang mengantarkan kepada kematian Rasulullah, beliau biasa bertanya, “Di mana aku besok, di mana aku besok?” Beliau menginginkan tiba hari giliran Aisyah. Istri-istri beliau pun mengizinkan beliau untuk berdiam di mana saja yang beliau inginkan. Beliau pun tinggal di rumah Aisyah sampai meninggal di sisi Aisyah. *[Shahih Al-Bukhari no. 5217]*
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menyampaikan, ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berada di rumah salah seorang istrinya, istri beliau yang lain mengirimkan sepiring makanan untuk beliau. Melihat hal itu, istri yang Nabi sedang berdiam di rumahnya memukul tangan pelayan yang membawa makanan tersebut hingga jatuhlah piring itu dan terbelah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pun mengumpulkan belahan piring tersebut kemudian mengumpulkan makanan yang berserakan, lalu beliau letakkan di atas piring yang terbelah seraya berkata, “Ibu kalian sedang cemburu.” Beliau lalu menahan pelayan tersebut hingga diberikan kepadanya ganti berupa piring yang masih utuh milik istri yang memecahkannya, sementara piring yang pecah disimpan di tempatnya.” *[Shahih Al-Bukhari no. 5225]*
Para istri sebaiknya ditempatkan di rumah tersendiri karena berkumpulnya mereka rawan memunculkan kecemburuan dan pertikaian. Dikhawatirkan saat suami menggauli salah satu istrinya, istri yang lain akan melihatnya. Demikian kata Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah. *[Al-Mushannaf li Ibnu Abi Syaibah, 4/388]*
Dari Anas bin Malik berkata, “Pada saat Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersama sebagian istri beliau, salah seorang dari ummul mukminin mengirim satu piring makanan, maka istri beliau yang pada saat itu beliau ada di rumahnya memukul tangan pembantunya hingga piring tersebut terjatuh dan pecah, Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- pun mengumpulkan serpihan piring yang pecah dan juga mengumpulkan makanan semula berada di piring tersebut, seraya bersabda, “Ibu kalian sedang cemburu”. Kemudian beliau menahan pembantu tersebut sampai beliau mengambil piring lain dari rumah istri yang beliau ada di dalamnya untuk mengganti yang pecah dan menyerahkan piring yang utuh kepada yang dipecahkan piringnya, dan memberikan piring yang pecah kepada istri beliau yang memecahkan”. *[Shahih Al-Bukhari no. 4927]*
Begitu Mbak Isfah, penjelasan saya dan dalil2nya. Jadi suami harus adil kepada para istrinya. Jangan disatukan dalam satu rumah. Namun bukan berarti para istri haram saling bertemu atau bekumpul. Boleh para istri berkumpul di malam hari di rumah istri yang sedang mendapatkan giliran untuk bercerita atau berbincang-bincang sampai datang waktu tidur, kemudian masing-masing pulang ke rumah mereka. *[Zad Al-Ma’ad, 4/20]*
Hal ini dilakukan oleh istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana berita dari Aisyah radhiyallahu ‘anha,
فَكُنَّ يَجْتَمِعْنَ كُلَّ لَيْلَةٍ فِي بَيْتِ الَّتِي يَأْتِيْهَا
“Mereka (para istri Nabi) berkumpul setiap malam di rumah istri yang didatangi oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.” *[Shahih Muslim no. 3613]*
Dijawab oleh Abinya Abizard *H. Brilly El-Rasheed, S.Pd.* bin H. Yulianto
➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖
Layangkan pertanyaan seputar agama Islam via surel *ustadzjibril@gmail.com* dengan menyebutkan nama dan kota asal.
Daftarkan diri mendapatkan broadcast whatsapp Islamia di *082140888638* dengan menyebutkan nama dan kota asal.
Kunjungi *quantumfiqih.blogspot.com* buat ngaji lebih banyak.
Belanja buku Islami via *tokobukufiqih.blogspot.com*
Join bisnis dan pelatihan makanan ringan krupuk kedelai, nugget sayur ikan laut, bakso ikan, dan lain-lain di *sbycorporation.wordpress.com*
Desain dan cetak majalah, buku, kitab & leaflet klik *desainmajalahislami.blogspot.com*
Ingin berdonasi komputer bekas dan dana tunai untuk kemakmuran mushalla salurkan melalui *komunitasmushalla.blogspot.com*
Pasang iklan atau cari info sekolah Islam unggulan di *islamicboardingschool.wordpress.com* dan *infosekolahislam.wordpress.com*
Ikuti channel Telegram *@manajemenqalbu*
Komentar Anda sangat berharga bagi kami. Jika Anda mendukung gerakan kami, sampaikan dengan penuh motivasi. Jangan lupa, doakan kami agar istiqamah beramal dan berdakwah. Klik juga www.quantumfiqih.com dan goldenmanners.blogspot.co.id