Kedudukan Tawakkal
https://brillyelrasheed.blogspot.com/2015/04/kedudukan-tawakkal.html
Oleh Ust. Ridwan bin Abdul Aziz
Mudir Ponpes Tauhidullah Surabaya
Tawakkal kepada Allah adalah merupakan jenis ibadah yang paling agung, yang wajib mengihlaskannya hanya kepada Allah semata, Allah Ta’ala berfirman: Al-Maidah 23
وَعَلَى
اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“… dan
hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang
beriman".
Ayat ini mengisyaratkan
bahwa barangsiapa bertawakkal kepada Allah, maka Allahlah yang akan memberi
kecukupan dari apa-apa yang mengggelisahkannya, dan akan menjaganya dari
kejahatan manusia.
Tawakkal kepada selain
Allah Ta’ala itu ada beberapa bagian (cabang/jenis-red):
Pertama:
Tawakkal dalam perkara-perkara yang tidak ada
kemampuan padanya seorangpun kecuali
Allah. Seperti bertawakkal kepada orang yang telah mati, dan kepada orang yang
dalam keadaan ghoib, dan lain sebagainya, dari para thoghut (tuhan selain Allah), dalam hal mewujudkan tuntutan-tuntutan hidup, dari mendapatkan
pertolongan, penjagaan, rizki atau syafaat, maka hal demikian ini adalah
tergolong syirik besar.
Kedua:
Tawakkal dalam melakukan sebab-sebab yang
dzohir, seperti: orang yang bertwakkal kepada seorang sulthon (Raja), atau seorang amiir (pemimpin), atau seseorang yang
masih hidup, yang mempunyai kemampuan terhadap apa-apa yang Allah Ta’ala
berikan kemampuan kepadanya, dari kemampuan memberi, atau menolak suatu
gangguan dan yang lainnya, maka hal seperti ini tergolong syirik kecil, karena
ia mengandung rasa bersandaran atau ketergantungan kepada seseorang.
Ketiga:
Tawakkal yang berupa pemberian kuasa dari
seorang manusia kepada seseorang yang berkemampuan untuk melaksanakan suatu
pekerjaan darinya, dari perkara-perkara yang masih sebatas apa-apa yang ia
mampui atasnya. Seperti: masalah jual beli, maka hal ini hukumnya boleh. Tetapi
dengan syarat tidak ada baginya rasa ketergantungan atasnya dalam mencapai
hasil dari apa-apa yang dikuasakan padanya, bahkan ia tetap bertawakkal kepada
Allah Ta’ala dalam mendapatkan kemudahan terhadap apa-apa yang ia cari sendiri
atau dari wakilnya. Karena pemberian kuasa kepada seseorang dalam mencapai perkara-perkara
yang bersifat jaiz (boleh) adalah merupakan sebab-sebab, sedangkan
sebab-sebab itu tidak boleh dijadikan sebagai ketergantungan atasnya, namun
sesungguhnya ketergantungan itu tetaplah kepada Allah Ta’ala, dimana Ia adalah
merupakan pencipta segala sebab, atau Dzat Yang mengadakan sebab dan musabbab.
Tawakkal kepada Allah dalam hal menolak
perkara yang membahayakan, dan dalam hal mendapatkan rizki, dan dalam
menghadapai perkara-perkara yang hanya dimampui oleh Allah, adalah merupakan
jenis ibadah yang paling agung, sebagaimana bertawakkal dalam hal ini kepada
selainNya, adalah merupakan syirik besar, Allah Ta’ala berfirman: Al-Maidah 23
وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“… dan
hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang
beriman.”
Pada ayat ini Allah
Ta’ala memerintahkan agar bertawakkal hanya kepadaNya semata, dan dijadikanlah
tawakkal itu sebagai syarat dalam hal kebenaran iman, sebagaimana ia dijadikan
sebagai syarat dalam hal benarnya keislaman, sebagaimana dalam firmanNya:
Yunus: 84
وَقَالَ مُوسَى يَا قَوْمِ إِنْ
كُنْتُمْ آمَنْتُمْ بِاللَّهِ فَعَلَيْهِ تَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُسْلِمِينَ (84)
“Berkata Musa: "Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Allah,
Maka bertawakkallah kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang yang berserah
diri.”
Maka
ayat di atas menunjukkan akan tiadanya keimanan dan keislaman (yang sempurna-red)
dari seseorang yang tidak bertawakkal kepada Allah, atau seseorang yang
bertawakkal kepada selain Allah, dalam menghadapi perkara-perkara yang hanya
dimampui olehNya, seperti bertawakkal kepada penghuni suatu kuburan dan atau
kepada berhala-berhala, maka ia dinyatakan dengan tidak beriman dan rusaknya
keislamannya.
Bertawakkal
kepada Allah adalah merupakan kewajiban yang harus diikhlaskan hanya kepadaNya,
dan ia adalah merupakan pemadu bagi segala jenis ibadah, dan ia adalah
merupakan maqom tauhid yang paling tinggi, yang paling besar dan yang teragung,
karena darinya akan menumbuhkan amal-amal yang sholih dan diterima di sisiNya.
Dan
sesungguhnya ketika seorang hamba bersandar kepada Allah dalam segala urusan
diniyahnya (agamanya), dan dalam urusan dunyawiyahnya (kehidupan dunia-red)
dan bersih dari bertawakkal kepada selainNya, maka menjadi benarlah keikhlasannya
dan hubungannya dengan Allah Ta’ala.
Ibnu Taimiyyah Al-Hanbali –rahimahulloh-
berkata:
" وَمَا رَجَا أَحَدٌ مَخْلُوْقًا وَلاَ تَوَكَّلَ
عَلَيْهِ إِلاَّخَابَ ظَنُّهُ فِيْهِ . . . " انتهى .
“dan tidaklah seseorang
berharap kepada seorang mahluk, dan tidak bertawakkal keapdanya, melainkan
pasti terputus (galal) dugaannya padanya …” [Al-Irsyad ilaa Shahiihil I’tiqaad]
Bertawakkal kepada Allah adalah merupakan
kedudukan teragung bagi sebuah pernyataan: “Hanya kepadaMu kami menyembah dan
hanya kepadaMu kami memohon pertolongan”.
Maka tidaklah akan tercapai kesempurnaan
tauhid dengan ketiga jenisnya yaitu, tauhid rubuubiyyah, tauhid uluuhiyyah,
tauhidul asma’ was-shifaat, kecuali dengan sempurnanya tawakkalnya kepada Allah
Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman: Al-Muzzammil: 9
رَبُّ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ فَاتَّخِذْهُ
وَكِيلًا (9)
“(Dia-lah) Tuhan masyriq (timur) dan maghrib
(barat), tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Maka ambillah Dia
sebagai Pelindung.”
Dan ayat-ayat yang mengandung perintah mengihlaskan tawakkal hanya
kepada Allah Ta’ala adalah banyak sekali: At-Tholaq: 3
..... وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“…dan Barangsiapa yang bertawakkal kepada
Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya…”.
Ibnul Qoyyim
Al-Hanbali –rahimahullooh- berkata tentang firman Allah Ta’ala:
Al-Maidah 23
وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (23)
…. dan hanya kepada Allah hendaknya kamu
bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman".
Maka Ia menjadikan
tawakkal kepada Allah itu sebagai syarat dalam keimanan, hal ini menunjukkan
atas tidak adanya iman (tidak sahnya iman) ketika tidak adanya (tawakkal). Dan
setiap keimanan seorang hamba menguat, maka keadaan tawakkalnya menjadi semakin
kuat, dan ketika keimanan itu melemah, maka lemah pulalah tawakkalnya, dan
apabila keberadaan tawakkalnya melemah, adalah menunjukkan atas melemahnya iman
secara pasti.
Dan Allah Ta’ala di dalam banyak tempat dari KitabNya memadukan antara
tawakkal dan ibadah, antara tawakkal dengan iman, antara tawakkal dengan takwa,
antara tawakkal dengan islam, antara tawakkal dengan hidayah. Sehingga Nampak
bahwa tawakkal itu merupakan pokok pangkal bagi semua kedudukan iman dan
kebaikan bagi semua amal-amal dalam islam, dan bahwasanya kedudukannya
(tawakkal) dari Islam adalah seperti laksana kepala bagi jasad.
Sebagaimana halnya tidak akan tegak kepala
itu kecuali di atas badan, maka demikianlah tidak akan menjadi tegak
keimanan dan kedudukan-kedudukannya dan
amal-amalnya, kecuali (apabila) berdiri diatas tonggak tawakkal”. (Selesai
kutipan-red)
Dan Allah Ta’ala telah menjadikan tawakkal itu merupakan sifat
kaum mukminin ayang paling menonjol, maka Allah Ta’ala berfirman: Al-Anfal: 2
إِنَّمَا
الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا
وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ (2)
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila
disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya
bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka
bertawakkal.”
Yaitu bahwasanya mereka, orang-orang yang
beriman itu bersandar diri kepadaNya dengan segenap hati mereka, maka mereka
tidaklah berpengharapan sama sekali kecuali kepadaNya.
Dan pada ayat di atas terdapat sifat-sifat
kaum mukminin itu yang sebenarnya, yaitu ada tiga maqom (derajat) dari maqom-maqom
ihsan, yaitu:
1- Al-Khouf
(rasa takut kepada Allah).
2-
Ziyaadatul
imaan ( bertambahnya iman).
3- At-Tawakkulu ‘alalloohi wahdah (bertawakkal hanya kepada Allah semata).
BERTAWAKKAL KEPADA ALLAH TA’ALA SAMBIL BEKERJA
Bertawakkal kepada Allah Ta’ala itu tidaklah menafikan keharusan
berusaha dalam mencapai sebab-sebab dan mengambil sebab-sebab, karena
sebenarnya Allah Ta’ala itu telah menentukan semua takdirnya tertambat
(terhubung) dengan adanya sebab-sebab.
Jadi tidaklah dibenarkan di dalam Islam adanya seseorang
yang hidupnya hanya sibuk dengan ibadah saja, atau hanya pasrah saja kepada
Allah Ta’ala, sementara ia tidak ada usaha sama sekali atau nganggur.
Sungguh Islam itu adalah agama yang paling memperhatikan tercapainya
kesejahteraan bagi kehidupan ini, sebagaimana tertuang dalam firman Allah
Ta’ala: Al-Qoshosh: 77
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي
الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ (77)
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari
(kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah
telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka)
bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
Pada firmanNya: “…dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan
Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan
bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi…”. Maksudnya ialah hendaknya kamu
mempergunakan baik-baik segala pemberian Allah kepadamu dari pemberian harta
yang melimpah, dan kenikmatan-kenikmatan yang sangat besar: seperti nikmat
sehat, nikmat kelapangan, dan yang lainnya, pergunakanlah semua itu di dalam
ketaatan kepada Tuhanmu, dan dekatkanlah dirimu kepadaNya dengan melakukan
sarana-sarana pendekatan yang telah diajarkan oleh RasulNya –shollalloohu
alaihi wasallam-, yang bisa mengantarkan kamu kepada meraih pahala
sebesar-besarnya di akhirat nanti.
Dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari
(kenikmatan) duniawi, yaitu dari berkasb atau berusaha mencapai apa-apa
yang diperbolehkan dan dianugrahkan kepadamu, seperti makan, minum, berpakaian,
berpenghuni, menikah dan juga mencapai berbagai macam usaha yang halal. Karena
sesungguhnya bagi Tuhanmu ada hak yang harus kamu penuhi dari kewajban
beribadah kepadaNya, dan bagi dirimu juga ada hak yang harus kamu penuhi,
keluargamu juga mempunyi hak atas dirimu, istrimu juga mempunyai hak atas
dirimu, maka berikanlah hak masing-masing yang punya hak itu olehmu.
Dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah
berbuat baik kepadamu, berbuat baiklah kamu kepada sesama, sebagaimana mereka
juga berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan dimuka bumi
ini, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. Semoga Allah Ta’ala senantiasa membimbing kita kepada jalanNya
yang benar, Amin.
Komentar Anda sangat berharga bagi kami. Jika Anda mendukung gerakan kami, sampaikan dengan penuh motivasi. Jangan lupa, doakan kami agar istiqamah beramal dan berdakwah. Klik juga www.quantumfiqih.com dan goldenmanners.blogspot.co.id