Kedudukan Tawakkal



Oleh Ust. Ridwan bin Abdul Aziz
Mudir Ponpes Tauhidullah Surabaya



Tawakkal kepada Allah adalah merupakan jenis ibadah yang paling agung, yang wajib mengihlaskannya hanya kepada Allah semata, Allah Ta’ala berfirman: Al-Maidah 23
 وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
 “… dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman".
Ayat ini mengisyaratkan bahwa barangsiapa bertawakkal kepada Allah, maka Allahlah yang akan memberi kecukupan dari apa-apa yang mengggelisahkannya, dan akan menjaganya dari kejahatan manusia.
Tawakkal  kepada selain  Allah Ta’ala itu ada beberapa bagian (cabang/jenis-red):
Pertama:
Tawakkal dalam perkara-perkara yang tidak ada kemampuan padanya seorangpun  kecuali Allah. Seperti bertawakkal kepada orang yang telah mati, dan kepada orang yang dalam keadaan ghoib, dan lain sebagainya, dari para thoghut (tuhan selain Allah), dalam hal mewujudkan tuntutan-tuntutan hidup, dari mendapatkan pertolongan, penjagaan, rizki atau syafaat, maka hal demikian ini adalah tergolong syirik besar.


Kedua:
Tawakkal dalam melakukan sebab-sebab yang dzohir, seperti: orang yang bertwakkal kepada seorang sulthon (Raja), atau seorang amiir (pemimpin), atau seseorang yang masih hidup, yang mempunyai kemampuan terhadap apa-apa yang Allah Ta’ala berikan kemampuan kepadanya, dari kemampuan memberi, atau menolak suatu gangguan dan yang lainnya, maka hal seperti ini tergolong syirik kecil, karena ia mengandung rasa bersandaran atau ketergantungan kepada seseorang.

Ketiga:
Tawakkal yang berupa pemberian kuasa dari seorang manusia kepada seseorang yang berkemampuan untuk melaksanakan suatu pekerjaan darinya, dari perkara-perkara yang masih sebatas apa-apa yang ia mampui atasnya. Seperti: masalah jual beli, maka hal ini hukumnya boleh. Tetapi dengan syarat tidak ada baginya rasa ketergantungan atasnya dalam mencapai hasil dari apa-apa yang dikuasakan padanya, bahkan ia tetap bertawakkal kepada Allah Ta’ala dalam mendapatkan kemudahan terhadap apa-apa yang ia cari sendiri atau dari wakilnya. Karena pemberian kuasa kepada seseorang dalam mencapai perkara-perkara yang bersifat jaiz (boleh) adalah merupakan sebab-sebab, sedangkan sebab-sebab itu tidak boleh dijadikan sebagai ketergantungan atasnya, namun sesungguhnya ketergantungan itu tetaplah kepada Allah Ta’ala, dimana Ia adalah merupakan pencipta segala sebab, atau Dzat Yang mengadakan sebab dan musabbab.

Tawakkal kepada Allah dalam hal menolak perkara yang membahayakan, dan dalam hal mendapatkan rizki, dan dalam menghadapai perkara-perkara yang hanya dimampui oleh Allah, adalah merupakan jenis ibadah yang paling agung, sebagaimana bertawakkal dalam hal ini kepada selainNya, adalah merupakan syirik besar, Allah Ta’ala berfirman: Al-Maidah 23
وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
 “… dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.
Pada ayat ini Allah Ta’ala memerintahkan agar bertawakkal hanya kepadaNya semata, dan dijadikanlah tawakkal itu sebagai syarat dalam hal kebenaran iman, sebagaimana ia dijadikan sebagai syarat dalam hal benarnya keislaman, sebagaimana dalam firmanNya: Yunus: 84

وَقَالَ مُوسَى يَا قَوْمِ إِنْ كُنْتُمْ آمَنْتُمْ بِاللَّهِ فَعَلَيْهِ تَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُسْلِمِينَ (84)
“Berkata Musa: "Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Allah, Maka bertawakkallah kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang yang berserah diri.
Maka ayat di atas menunjukkan akan tiadanya keimanan dan keislaman (yang sempurna-red) dari seseorang yang tidak bertawakkal kepada Allah, atau seseorang yang bertawakkal kepada selain Allah, dalam menghadapi perkara-perkara yang hanya dimampui olehNya, seperti bertawakkal kepada penghuni suatu kuburan dan atau kepada berhala-berhala, maka ia dinyatakan dengan tidak beriman dan rusaknya keislamannya.
Bertawakkal kepada Allah adalah merupakan kewajiban yang harus diikhlaskan hanya kepadaNya, dan ia adalah merupakan pemadu bagi segala jenis ibadah, dan ia adalah merupakan maqom tauhid yang paling tinggi, yang paling besar dan yang teragung, karena darinya akan menumbuhkan amal-amal yang sholih dan diterima di sisiNya.
Dan sesungguhnya ketika seorang hamba bersandar kepada Allah dalam segala urusan diniyahnya (agamanya), dan dalam urusan dunyawiyahnya (kehidupan dunia-red) dan bersih dari bertawakkal kepada selainNya, maka menjadi benarlah keikhlasannya dan hubungannya dengan Allah Ta’ala.
Ibnu Taimiyyah Al-Hanbali –rahimahulloh- berkata:
  " وَمَا رَجَا أَحَدٌ مَخْلُوْقًا وَلاَ تَوَكَّلَ عَلَيْهِ إِلاَّخَابَ ظَنُّهُ فِيْهِ . . . " انتهى .
“dan tidaklah seseorang berharap kepada seorang mahluk, dan tidak bertawakkal keapdanya, melainkan pasti terputus (galal) dugaannya padanya …” [Al-Irsyad ilaa Shahiihil I’tiqaad]
Bertawakkal kepada Allah adalah merupakan kedudukan teragung bagi sebuah pernyataan: “Hanya kepadaMu kami menyembah dan hanya kepadaMu kami memohon pertolongan”.
Maka tidaklah akan tercapai kesempurnaan tauhid dengan ketiga jenisnya yaitu, tauhid rubuubiyyah, tauhid uluuhiyyah, tauhidul asma’ was-shifaat, kecuali dengan sempurnanya tawakkalnya kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman: Al-Muzzammil: 9
رَبُّ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ فَاتَّخِذْهُ وَكِيلًا (9)
(Dia-lah) Tuhan masyriq (timur) dan maghrib (barat), tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Maka ambillah Dia sebagai Pelindung.
Dan ayat-ayat yang mengandung perintah mengihlaskan tawakkal hanya kepada Allah Ta’ala adalah banyak sekali:  At-Tholaq: 3
 ..... وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
 “…dan Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya…”. 
Ibnul Qoyyim Al-Hanbali –rahimahullooh- berkata tentang firman Allah Ta’ala: Al-Maidah 23
وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (23)
 …. dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman".
Maka Ia menjadikan tawakkal kepada Allah itu sebagai syarat dalam keimanan, hal ini menunjukkan atas tidak adanya iman (tidak sahnya iman) ketika tidak adanya (tawakkal). Dan setiap keimanan seorang hamba menguat, maka keadaan tawakkalnya menjadi semakin kuat, dan ketika keimanan itu melemah, maka lemah pulalah tawakkalnya, dan apabila keberadaan tawakkalnya melemah, adalah menunjukkan atas melemahnya iman secara pasti.
Dan Allah Ta’ala di dalam banyak tempat dari KitabNya memadukan antara tawakkal dan ibadah, antara tawakkal dengan iman, antara tawakkal dengan takwa, antara tawakkal dengan islam, antara tawakkal dengan hidayah. Sehingga Nampak bahwa tawakkal itu merupakan pokok pangkal bagi semua kedudukan iman dan kebaikan bagi semua amal-amal dalam islam, dan bahwasanya kedudukannya (tawakkal) dari Islam adalah seperti laksana kepala bagi jasad.
Sebagaimana halnya tidak akan tegak kepala itu kecuali di atas badan, maka demikianlah tidak akan menjadi tegak keimanan  dan kedudukan-kedudukannya dan amal-amalnya, kecuali (apabila) berdiri diatas tonggak tawakkal”. (Selesai kutipan-red)
Dan Allah Ta’ala telah menjadikan tawakkal itu merupakan sifat kaum mukminin ayang paling menonjol, maka Allah Ta’ala berfirman: Al-Anfal: 2
 إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ (2)
Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.
Yaitu bahwasanya mereka, orang-orang yang beriman itu bersandar diri kepadaNya dengan segenap hati mereka, maka mereka tidaklah berpengharapan sama sekali kecuali kepadaNya.
Dan pada ayat di atas terdapat sifat-sifat kaum mukminin itu yang sebenarnya, yaitu ada tiga maqom (derajat) dari maqom-maqom ihsan, yaitu:
1-      Al-Khouf (rasa takut kepada Allah).
2-      Ziyaadatul imaan ( bertambahnya iman).
3-      At-Tawakkulu ‘alalloohi wahdah (bertawakkal hanya kepada Allah semata).

BERTAWAKKAL KEPADA ALLAH TA’ALA SAMBIL BEKERJA

Bertawakkal kepada Allah Ta’ala itu tidaklah menafikan keharusan berusaha dalam mencapai sebab-sebab dan mengambil sebab-sebab, karena sebenarnya Allah Ta’ala itu telah menentukan semua takdirnya tertambat (terhubung) dengan adanya sebab-sebab.
Jadi tidaklah dibenarkan di dalam Islam adanya seseorang yang hidupnya hanya sibuk dengan ibadah saja, atau hanya pasrah saja kepada Allah Ta’ala, sementara ia tidak ada usaha sama sekali atau nganggur.
Sungguh Islam itu adalah agama yang paling memperhatikan tercapainya kesejahteraan bagi kehidupan ini, sebagaimana tertuang dalam firman Allah Ta’ala: Al-Qoshosh: 77
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ (77)
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
Pada firmanNya:  “…dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi…”. Maksudnya ialah hendaknya kamu mempergunakan baik-baik segala pemberian Allah kepadamu dari pemberian harta yang melimpah, dan kenikmatan-kenikmatan yang sangat besar: seperti nikmat sehat, nikmat kelapangan, dan yang lainnya, pergunakanlah semua itu di dalam ketaatan kepada Tuhanmu, dan dekatkanlah dirimu kepadaNya dengan melakukan sarana-sarana pendekatan yang telah diajarkan oleh RasulNya –shollalloohu alaihi wasallam-, yang bisa mengantarkan kamu kepada meraih pahala sebesar-besarnya di akhirat nanti.
Dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi, yaitu dari berkasb atau berusaha mencapai apa-apa yang diperbolehkan dan dianugrahkan kepadamu, seperti makan, minum, berpakaian, berpenghuni, menikah dan juga mencapai berbagai macam usaha yang halal. Karena sesungguhnya bagi Tuhanmu ada hak yang harus kamu penuhi dari kewajban beribadah kepadaNya, dan bagi dirimu juga ada hak yang harus kamu penuhi, keluargamu juga mempunyi hak atas dirimu, istrimu juga mempunyai hak atas dirimu, maka berikanlah hak masing-masing yang punya hak itu olehmu.

Dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, berbuat baiklah kamu kepada sesama, sebagaimana mereka juga berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan dimuka bumi ini, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. Semoga Allah Ta’ala senantiasa membimbing kita kepada jalanNya yang benar, Amin.







Related

Aqidah 3891428062622945160

Posting Komentar

Komentar Anda sangat berharga bagi kami. Jika Anda mendukung gerakan kami, sampaikan dengan penuh motivasi. Jangan lupa, doakan kami agar istiqamah beramal dan berdakwah. Klik juga www.quantumfiqih.com dan goldenmanners.blogspot.co.id

emo-but-icon
:noprob:
:smile:
:shy:
:trope:
:sneered:
:happy:
:escort:
:rapt:
:love:
:heart:
:angry:
:hate:
:sad:
:sigh:
:disappointed:
:cry:
:fear:
:surprise:
:unbelieve:
:shit:
:like:
:dislike:
:clap:
:cuff:
:fist:
:ok:
:file:
:link:
:place:
:contact:

Hot in week

Random Post

Cari Blog Ini

LanggananTranslate

Translate

Total Tayangan Halaman

Our Visitors

Flag Counter

Brilly Quote 1

Brilly Quote 2

Brilly Quote 3

item