Mengagumi Allah


Oleh Brilly El-Rasheed, S.Pd.



Betapa sering qalbu ini lalai dari Allah, hingga tidak ada lagi rasa kagum kepada Allah. Betapa terbiasanya diri ini, tidak mengagung-agungkan Allah, bahkan meremehkan-Nya. Betapa bodohnya kita, Allah telah memberikan segala yang kita butuhkan, baik yang kita minta atau tidak, namun kita tidak mengagung-agungkan-Nya. Kerap kita biasa saja ketika disebut-sebut nama Allah. Tiada getaran cinta kepada Allah yang bergejolak di dalam hati kita. Tiada sedikit pun rasa rindu kepada-Nya.
Kita yang mengklaim diri sebagai hamba-Nya yang beriman, semestinya bisa merasakan kebesaran-Nya, sebab itulah karakter orang beriman. Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Rabblah mereka bertawakkal.” [QS. Al-Anfal: 2]
Bahkan orang yang beriman tatkala baru mendengar ayat-ayat-Nya disebut-sebut, rasa rindu, cinta, dan kagum kepada Allah membuncah dalam jiwa mereka. Kegembiraan berkobar dalam nurani mereka. Allah berfirman, “Orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Kami hanyalah orang-orang yang apabila diingatkan dengan ayat-ayat tersebut mereka menjunam sujud, dan mereka bertasbih dengan memuji Rabb mereka, lagi tidak menyombongkan diri... Mereka menyeru Rabb mereka dengan penuh rasa takut dan harap...” [QS. As-Sajdah: 15-16]
Tidak seperti orang musyrik yang ketika disebutkan nama Allah di sisinya, mereka malah marah, selain karena mereka tidak suka dengan Allah, juga karena tuhan-tuhan mereka selain Allah tidak disebutkan. Tidak pula seperti orang munafiq, yang masam muka atau berwajah dingin tatkala mendengar nama Allah dilantunkan. Tidak juga seperti orang kafir, saat terlintas di telinga mereka nama Allah, atau melihat nama Allah tertulis, mereka kemudian memalingkan muka seraya memaki Allah di dalam hati, seolah ada dendam kesumat yang terus menggelayuti, benci bila Allah dielu-elukan.

Menjadi Saksi Atas Ke-maha-an Allah
          Picik sekali pikiran orang-orang yang tidak mau mengakui dan bersaksi bahwa Allah adalah Rabb-nya. Hanya orang-orang yang cekak akalnya dan rendah kecerdasannya serta lemah daya telaah dan olahnya, yang menolak menjadi saksi atas ke-maha-an Allah.
          Allah telah menjelaskan betapa agung dan besarnya diri-Nya. Hingga terkadang ada beberapa manusia yang tidak mampu menangkapnya karena saking bodohnya manusia dan terlampau mulianya Allah, juga sebab qalbu mereka tidak dipancari oleh Allah dengan cahaya hikmah.
          Bila kita mengamati firman-firman-Nya, kekaguman pada Allah akan menjadi keniscayaan yang akan segera memenuhi setiap ruang dalam sanubari. Nurani akan mengagumi Allah, dan raga akan mengejawantahkannya.
          Oleh karena begitu agung dan besarnya Allah, jangankan diri Allah, firman-firman-Nya saja sudah menjadikan gunung-gunung tidak sanggup memikulnya. “Kalau sekiranya Kami turunkan Al-Qur`an ini pada sebuah gunung, pasti engkau akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah...” [QS. Al-Hasyr: 21]
Allah berfirman, mengungkapkan kekuatan-Nya, dimana Dia pernah menampakkan dirinya dalam wujud lain, kepada sebuah gunung, setelah sebelumnya Nabi Musa meminta kepada Allah agar dapat melihat-Nya, “Tatkala Allah menampakkan diri pada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata, “Mahasuci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau...” [QS. Al-A’raf: 143]
Nabi Muhammad bersabda, mengilustrasikan kehebatan Allah,
حِجَابُهُ النُّورُ لَوْ كَشَفَهُ لَأَحْرَقَتْ سُبُحَاتُ وَجْهِهِ مَا انْتَهَى إِلَيْهِ بَصَرُهُ مِنْ خَلْقِهِ
“Hijab-Nya adalah cahaya, apabila Dia menyingkapnya, niscaya pancaran sinar wajah-Nya akan menghancurkan seluruh makhluq-Nya sejauh pandangan-Nya.” [Shahih Ibnu Majah no. 162; Mukhtashar Shahih Muslim no. 85; Shahih Al-Jami’ no. 1860] Karenanya Allah tidak mengizinkan manusia dapat memandang-Nya ketika masih di dunia, sebab Allah tidak ingin bila manusia luluh lantak. Sehingga, demi kebaikan, Allah menutup diri-Nya dengan hijab-Nya selama kehidupan dunia masih ada.

Melalui Ciptaan-Nya
Sebagaimana kata pepatah Arab, “Jejak unta menunjukkan keberadaan unta.” Maka eksistensi semesta raya ini merupakan bukti konkrit dan logis akan keberadaan penciptanya, yaitu Allah, satu-satunya pencipta, penguasa, pemilik, pengatur segala sesuatu. Melalui ciptaan-Nya, kita bisa mengenal-Nya, meski tidak secara spesifik dan detil.
Rasulullah pernah merepresentasikan kemahabesaran Allah, “Sesungguhnya Allah mengizinkanku bercerita tentang ayam jago yang kedua kakinya menancap di bumi, sedangkan lehernya merunduk di bawah ‘Arsy, dan dia bersuara, “Mahasuci Engkau, betapa Agung Engkau, wahai Rabb kami.” Lalu Allah membalas ucapannya, “Takkan mengetahui hal itu orang yang bersumpah atas nama-Ku secara dusta.” [Ash-Shahihah no. 150]
Nabi juga pernah menggambarkan kemahaagungan Allah, “Telah diizinkan kepadaku untuk bercerita tentang seorang malaikat dri malaikat-malaikat Allah yang bertugas sebagai pemikul ‘Arsy, bahwa jarak antara cumping telinganya sampai ke bahunya adalah sejauh perjalanan tujuh ratus tahun.” [Shahih Abu Dawud no. 4727; Ash-Shahihah no. 151]
Rasulullah Muhammad pernah pula mengilustrasikan kekuasaan Allah melalui silogisme, “Sesungguhnya langit tujuh dibandingkan dengan Kursi adalah seperti sebutir lingakran yang terlempar di tanah yang luas. Dengan ketinggian ‘Arsy atas Kursi adalah seperti adalah seperti ketinggian padang luas atas sebutir lingakran tersebut.” [Ash-Shahihah no. 109] Sedangkan, “Kursi Allah meliputi langit dan bumi.” [QS. Al-Baqarah: 255] Bahkan, “Bertasbih kepada Allah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi.” [QS. Shaf: 1]
Kita bisa merasakan betapa besar, agung, kuasa, perkasa dan mulia Allah melalui tafakkur terhadap ciptaan-ciptaan-Nya. Karenanya di dalam Al-Qur`an, Allah memerintahkan kita untuk menafakkuri semesta, untuk hal ini tujuannya, menambah kekaguman kita kepada Allah, sehingga iman kita semakin mantap, dan taqwa kita semakin tegap, hingga surga yang udaranya begitu wangi dan sedap, menjadi tempat kita menetap dalam kehidupan yang tetap, tiada lagi zaman akhir yang kan menghadap.

Dengan Pengagungan yang Sebaik-baiknya
          Tidak sedikit manusia yang mengaku cinta kepada Allah, mengaku sebagai hamba-Nya, mengaku mengagung-agungkan Allah, mengaku Allah sebagai Rabb mereka, namun mereka tidak mengagung-agungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya. Mengagungkan Allah yang tidak semestinya memiliki dua bentuk;
Pertama, pengagungan yang tata caranya tidak berdasarkan ketentuan dari Allah. Pengagungan jenis ini merupakan omong kosong dan hanya klaim cinta namun dusta, semata pengaku-akuan yang tidak terbukti. Al-Imam Asy-Syafi’i pernah menggubah sebuah sya’ir,
Engkau durhakai Rabbmu,
tapi engkau mengaku cinta kepada-Nya
Ini nihilisme yang ajaib dalam komparasi
Jika cintamu tulus, niscaya engkau menaati-Nya
Karena sang pencinta itu patuh pada kekasihnya
Kedua, mengagungkan Allah tidak secara maksimal dan optimal, tapi ogah-ogahan, semaunya sendiri, malas-malasan. Bentuk yang pertama adalah karakter orang kafir dan musyrik. Dan bentuk yang kedua adalah karakter orang munafiq.
Sungguh tidak pantas manusia tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya. Manusia punya apa sehingga layak untuk angkuh dan pongah di hadapan-Nya? Tidakkah manusia itu sadar bahwa bumi ada dalam genggaman Allah dan langit digulung oleh tangan kanan-Nya?
Barangsiapa mengikrarkan diri menjadi hamba Allah, niscaya ia akan menyembah-Nya dengan penyembahan (ibadah) yang semestinya, yakni sesuai dengan ketentuan bentuk penyembahan yang ditetapkan-Nya dan dengan penyembahan yang sebaik-baiknya.
Kita mengagungkan Allah haruslah melalui ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkannya, karena kalau kita memang benar-benar cinta kepada Allah dengan cinta yang murni, tulus dan suci, tentu kita akan mengikuti segala yang dititahkan-Nya. Tidak hanya kita menuruti Allah untuk mengagungkan-Nya, namun juga kita menaati cara mengagungkan-Nya yang ditetapkan-Nya. “Dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya.” [QS. Al-Baqarah: 185; Al-Hajj: 37]
Ketentuan cara menyembah Allah tersebut telah diuraikan oleh-Nya melalui firman-firman-Nya maupun melalui pengutusan nabi dan rasul dengan membawa kitab dan hikmah (sunnah) yang merupakan penjelasan bagi kitab tersebut yang bersumber dari penjelasan para nabi dan rasul. Dan bagi kita ketentuan cara menyembah Allah telah termaktub di dalam syari’at Islam, yang sudah sempurna dan paten, tidak butuh serta tidak bisa diubah, diganti, ditambah, dikurangi dan dihilangkan.
Demikian pula bila seseorang telah berikrar bahwa Allah adalah Rabb-nya, tentu ia akan menyembah-Nya, beribadah kepada-Nya, dan mengagungkan-Nya secara optimal, maksimal dan sebaik-baiknya. “Mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya. Padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari qiyamah dan langit digulung (oleh Allah) dengan tangan kanan-Nya. Mahasuci Dia dan Mahatinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan (dengan-Nya).” [QS. Az-Zumar: 67]
Sungguh betapa sempurnanya Allah. Adakah kita telah mengagumi-Nya?

Artikel ini sudah pernah dimuat di Majalah Islam Nasional LENTERA QOLBU.

Related

Quantum Fiqih 2372858781503455970

Posting Komentar

Komentar Anda sangat berharga bagi kami. Jika Anda mendukung gerakan kami, sampaikan dengan penuh motivasi. Jangan lupa, doakan kami agar istiqamah beramal dan berdakwah. Klik juga www.quantumfiqih.com dan goldenmanners.blogspot.co.id

emo-but-icon

Hot in week

Random Post

Cari Blog Ini

Translate

Total Tayangan Halaman

Our Visitors

Flag Counter

Brilly Quote 1

Brilly Quote 2

Brilly Quote 3

item