QAUL DHA'IF

QAUL DHA'IF

BRILLY EL-RASHEED

Dalam beragama Islam, kita dituntut untuk taqlid kepada para ulama yang mujtahid sekaligus mengetahui dalil-dalil ijtihadnya. Kita tidak mampu untuk menggali hukum sendiri dari Al-Qur`an dan As-Sunnah kecuali kita sudah memiliki perangkat-perangkat ijtihad yang sudah dimiliki Al-Imam Asy-Syafi'i, Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Al-Imam Abu Hanifah, Al-Imam Malik dan para mujtahid lainnya, termasuk para mufti atua mujtahid fil fatwa.
Dalam sejarah, ditemukan banyak sekali ulama beserta fatwanya yang sangat beraneka ragam. Pluralitas fatwa ini sudah dilegitimasi oleh Allah Ta'ala dalam beberapa ayat Al-Qur`an. Menyikapi pluralitas fatwa ini, kita sebagai mukallaf yang wajib taqlid, barangkali kita akan bingung, ikut fatwanya siapa? Sebetulnya yang kita taqlidi bukan siapa, tapi dalil-dalil yang lengkap dengan pemahamannya (fiqihnya) yang sudah difatwakan oleh ulama.
Dalam khazanah literatur-literatur Islam, ada beberapa tingkatan kualitas fatwa, salah satunya disebut qaul dha'if, yaitu fatwa dari ulama/fuqaha madzhab yang dianggap oleh ulama-ulama dalam madzhab tersebut kurang kuat istidlalnya (pendalilannya) dan istinbathnya (pengambilan hukumnya).
Qaul dha'if ini biasanya oleh para mufti yang "junior" sering digunakan ketika ada kondisi-kondisi darurat. Sebagai contoh, Al-Imam Qaffal sebagaimana dikutip Ar-Razi memperbolehkan pendistribusian zakat (fithrah maupun mal) kepada selain mustahiq yang ditetapkan syara'. Misalnya zakat diperbolehkan untuk disalurkan bagi pembangunan kamar mandi umum, pembuatan jalan umum, pemugaran masjid. Tentu saja qaul dha'ifnya Al-Imam Qaffal ini sangat berguna kalau memang kondisinya darurat dan para mustahiq zakat tidak ditemukan di daerah tersebut.