Jangan Pernah Sekalipun Menggugat Ijma' (Konsensus Para Ahli Hukum Islam)
Dari hadits ini, kita bisa menyimpulkan, para ulama yang sejati, mereka akan selalu menunjukkan umat manusia kepada yang benar. Mereka tidak mungkin mengarahkan manusia kepada kesesatan.
Sejarah telah mencatat peran dan kontribusi para ulama bagi Islam dan umat Muslim. Mereka telah mempermudah umat Muslim dalam memahami dan mengamalkan Islam. Mereka tersebar dimana-mana. Mereka mendakwahkan Islam dimana saja mereka berada. Kendati mereka berjauhan tempat tapi mereka tetap satu. Mereka walaupun berbeda tempat dan jarang sekali bertemu tetapi ternyata apa yang mereka pahami dari Al-Qur`an dan As-Sunnah sama. Dan kesamaan inilah yang kemudian dinamakan ijma'.
Al-Imam Asy-Syafi'i mengungkapkan, "Jika jama'ah mereka berpencar-pencar di setiap negara dan tidak ada yang mampu menyatukan badan mereka, mereka tetap bisa membuahkan ijma'. Namun sebaliknya, walaupun badan mereka berkumpul dalam satu tempat, akan tetapi bercampur berbagai kalangan, baik dari kaum muslimin, kaum kuffar, orang-orang yang bertaqwa maupun para penjahat, maka tidak mempunyai arti apa-apa dan tidak mungkin membuahkan ijma'." [Ar-Risalah hal. 475]
Para ulama Islam mendeskripsikan makna ijma' dengan berbagai ungkapan yang berbeda-beda, yang paling tepat dan mendekati kebenaran adalah definisi yang dibuat Asy-Syaikh Muhammad Shiddiq Hasan Khan, "Kesepakatan para ulama ahli ijtihad dari kalangan umat Muhammad setelah wafatnya beliau, pada masa tertentu atas suatu perkara agama Islam." [Al-Jami' li Ahkam Ushul Al-Fiqh hal. 154]
Jadi, tidak semua ijma' (kesepakatan, konsensus) dianut, harus sesuai dan tidak menyelisihi Al-Qur`an dan As-Sunnah, harus sesuai dengan manhaj (metode beragama) dan sunnah (gaya hidup) Nabi Muhammad dan para salaf yang shalih, harus dari para ulama Islam ahli ijtihad, dan harus terlepas dari unsur-unsur kesesatan. Seperti diutarakan Ibnu Hazm dalam Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam 4/544, "Tidak ada ijma' kecuali pasti berdasarkan nash agama Islam, baik berasal dari ucapan Nabi secara manqul sehingga pasti terpelihara, maupun dari perbuatan beliau yang juga pasti sampai kepada kita secara manqul."
Dari sini, maka bisa dikatakan kebenaran ijma' adalah mutlak. Tidak akan pernah salah dan menyelisihi syariat Islam. Abu Hamid Al-Ghazali dalam salah satu bukunya yang bertajuk Al-Mustashfa pada vol. 1 halaman 175 mengakui kehujjahan ijma', "Banyak riwayat dari Rasulullah dengan berbagai macam redaksi yang berujung pada satu makna yang menegaskan bahwa umat ini terpelihara dari kesalahan secara kolektif. Bahkan semua riwayat tersebut diterima sepenuh hati oleh semua pihak, baik yang menerima maupun yang menolak ijma'. Umat Islam sepanjang zaman selalu berhujjah dengan riwayat-riwayat tersebut dalam masalah ushul dan furu' agama."
Di buku yang sama (1/174) Al-Ghazali juga mengemukakan, "Ijma' merupakan dasar agama yang sah dan menjadi sumber hukum ketiga dalam Islam setelah Al-Qur`an dan As-Sunnah. Tidak akan ada ketetapan ijma' yang menentang kebenaran, karena umat Islam tidak mungkin sepakat di atas kesesatan, terlebih generasi shahabat dan tabi'in. Maka ijma' sebagai sumber hukum qath'I tidak sah kecuali berdasarkan Al-Qur`an, As-Sunnah yang shahih, logika yang sehat, dan perkara indrawi yang realistis. Sehingga mustahil ijma' bertentangan dengan Al-Qur`an, As-Sunnah yang shahih, logika yang sehat, dan perkara indrawi yang realistis.”
Di antara salah satu riwayat tersebut adalah sebagai berikut, Nabi Muhammad berkata, "Sesungguhnya Allah tidak akan menghimpun umatku di atas kesesatan. Dan tangan Allah di atas al-jama'ah." [Shahih: Shahih Al-Jami' no.1848; Takhrij Misykah Al-Mashabih no.173]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, "Al-Qur`an, As-Sunnah, dan Ijma' isinya satu (sama), karena semua yang ada dalam Al-Qur`an disetujui Rasulullah dan disepakati umat. Sehingga tidak ada dari umat ini, kecuali ada yang mewajibkan untuk mengikuti Al-Qur`an. Demikian pula, semua yang disunnahkan oleh Nabi, maka Al-Qur`an telah memerintahkan untuk mengikutinya, dan umat telah sepakat terhadap masalah itu. Demikian pula, seluruh masalah yang kaum muslim telah bersepakat di atasnya, maka itu adalah kebenaran yang sesuai dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah." [Al-Fatawa, 7/40] Dalam bukunya, Dar` Ta'arudh Al-'Aql wa An-Naql, 1/272, beliau menulis, "Agama kaum muslimin dibangun berlandaskan kepada Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah serta kesepakatan umat (ijma'). Sehingga ketiganya merupakan sumber hukum yang ma'shum (terjaga dari kesalahan)."
Para ulama sepakat ijma’ bisa menjadi hujjah dalam agama Islam, namun mereka berbeda pendapat apakah ijma’ menjadi hujjah yang qath’i ataukah zhanni. Perbedaan ini terpolar ke dalam tiga kelompok; Pertama, menurut pendapat Al-Asfahani dan inilah pendapat yang masyhur dari kebanyakan para ulama bahwa ijma’ menjadi hujjah yang qath’i dalam agama Islam. Kedua, ijma’ tidak menerapkan sesuatu kecuali ketetapan yang bersifat zhanni, baik ijma’ itu bersandar pada dalil yang qath’i maupun yang zhanni. Ketiga, harus dibedakan antara ijma’ yang disepakati sehingga menjadi hujjah yang qath’i, dengan ijma’ sukuti. Ijma’ seperti ini hanya memberi faedah dan ketetapan hukum yang bersifat zhanni. Dan inilah yang shahih seperti dirajihkan Ibnu Taimiyyah. [Masadir Al-Istidlal ‘ala Masa`il Al-I’tiqad, Asy-Syaikh ‘Utsman ‘Ali Hasan, hal. 56-57]
Komentar Anda sangat berharga bagi kami. Jika Anda mendukung gerakan kami, sampaikan dengan penuh motivasi. Jangan lupa, doakan kami agar istiqamah beramal dan berdakwah. Klik juga www.quantumfiqih.com dan goldenmanners.blogspot.co.id