Terlarangkah Mengumumkan Kematian? Benarkah Termasuk An-Na`yu yang Dilarang Agama Islam?
https://brillyelrasheed.blogspot.com/2012/05/terlarangkah-mengumumkan-kematian.html
Oleh Brilly El-Rasheed
Sudah
menjadi hal yang lazim di sekitar kita, bila ada kematian pasti akan diumumkan,
baik melalui pengeras suara maupun lewat media komunikasi (televisi, telepon,
dan koran).
Dalam hal ini para ulama terbagi menjadi dua pendapat,
dikarenakan adanya perbedaan penafsiran dalil dalam tema bahasan ini. Pendapat pertama menilai, mengumumkan
kematian itu terlarang sebab ada dalil yang melarang, yakni hadits Hudzaifah
bin Al-Yaman yang berwasiat,
إِذَا مِتُّ فَلَا تُؤْذِنُوا بِي إِنِّي أَخَافُ
أَنْ يَكُونَ نَعْيًا فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَنْهَى عَنْ النَّعْيِ
“Apabila aku mati, jangan beritahukan kepada orang
lain, karena aku takut itu termasuk an-na`yu, dan aku pernah mendengar
Rasulullah melarang an-na`yu.”
Apa yang didengar Hudzaifah tersebut terbukti keshahihannya, disampaikan
Ibnu Mas’ud, “Sesungguhnya Rasulullah melarang an-na`yu, beliau bersabda,
“Waspadalah dari an-na`yu, karena termasuk perbuatan jahiliyyah.”.” Kedua hadits ini diriwayatkan At-Tirmidzi.
Pendapat ini diriwayatkan
juga dari Ibnu ‘Umar, Abu Sa’id, Alqamah, Sa’id bin Al-Musayyib, Ar-Rabi’ bin
Khutsaim dan An-Nakha`i, seperti dicatat Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra
4/74.
Pendapat kedua, dan ini adalah pendapat yang rajih (kuat), digulirkan oleh jumhur
ulama dari madzhab Hanafi, Maliki, Asy-Syafi’i, Hanbali, dan lainnya, memilih
bolehnya mengumumkan kematian, bahkan sebagian dari mereka menyebutnya sebagai
sebuah sunnah.
Dalil yang mereka gunakan
adalah dua hadits muttafaq ‘alaih dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah
mengumumkan kematian Raja Najasyi pada hari kematiannya, beliau keluar ke
tempat shalat (jenazah untuk shalat ghaib), beliau membuat shaf dengan para
shahabatnya, dan bertakbir empat kali. Dan tatkala seorang wanita yang biasa
menyapu masjid Nabawi meninggal dan Rasulullah merasa kehilangan beliau
menanyakan tentangnya, para shahabat pun memberi tahukan perihal kematian
wanita tersebut. Dari Abu Hurairah,
أَنَّ امْرَأَةً سَوْدَاءَ كَانَتْ تَقُمُّ الْمَسْجِدَ أَوْ شَابًّا
فَفَقَدَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَ عَنْهَا
أَوْ عَنْهُ فَقَالُوا مَاتَ قَالَ أَفَلَا كُنْتُمْ آذَنْتُمُونِي قَالَ
فَكَأَنَّهُمْ صَغَّرُوا أَمْرَهَا أَوْ أَمْرَهُ فَقَالَ دُلُّونِي عَلَى
قَبْرِهِ فَدَلُّوهُ فَصَلَّى عَلَيْهَا ثُمَّ قَالَ إِنَّ هَذِهِ الْقُبُورَ
مَمْلُوءَةٌ ظُلْمَةً عَلَى أَهْلِهَا وَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُنَوِّرُهَا
لَهُمْ بِصَلَاتِي عَلَيْهِمْ
“Seorang wanita
berkulit hitam yang biasa menyapu masjid, lalu Rasulullah tidak melihatnya
lagi, maka beliau bertanya keberadaannya dan para sahabat menjawab, “Ia telah
meninggal.” Lalu beliau berkata, “Kenapa kalian tidak memberitahuku?" Abu
Hurairah berkata, "Seolah-olah mereka menyepelekan perkara ini atau
meremehkannya.”" Kemudian beliau berkata, "Tunjukkan kepadaku
kuburnya." Lalu mereka menunjukkannya, dan Rasulullah menshalatinya kuburan.
Kemudian beliau bersabda, “Sesungguhnya kuburan ini terasa gelap gulita oleh
penghuninya, dan sesungguhnya Allah akan menerangi kuburnya dengan shalatku
untuk mereka.” [Shahih Al-Bukhari no. 460; Shahih Muslim no. 956]
Dua hadits ini menjadi
hujjah yang jelas disunnahkannya pengumuman kematian. Lebih dari itu,
pengumuman kematian seseorang juga menjadi perantara bagi jenazah untuk
mendapatkan hak-haknya, yaitu dirawat, dimandikan, dikafani, dishalati dan
dikuburkan serta didoakan.
Bahkan ada hadits yang
lebih lugas lagi, diriwayatkan Al-Bukhari no. 3547 dari Anas, bahwasanya Nabi memberitahukan kematian
Zaid, Ja’far, dan Ibnu Rawahah kepada orang-orang sebelum kabar kematian mereka
sampai. Kala itu Nabi sedang berkhuthbah kemudian
bersabda,
أَخَذَ الرَّايَةَ زَيْدٌ
فَأُصِيبَ ثُمَّ أَخَذَ جَعْفَرٌ فَأُصِيبَ ثُمَّ أَخَذَ ابْنُ رَوَاحَةَ
فَأُصِيبَ وَعَيْنَاهُ تَذْرِفَانِ حَتَّى أَخَذَ الرَّايَةَ سَيْفٌ مِنْ سُيُوفِ
اللَّهِ حَتَّى فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ
“Zaid memegang bendera, lalu ia terbunuh. Ja’far
memegang bendera, lalu ia terbunuh. Kemudian Ibnu Rawahah memegang bendera,
lalu terbunuh.” Berlinanglah air mata Rasulullah, Rasulullah kemudian
melanjutkan, “Sampai akhirnya salah satu pedang Allah memegang bendera itu
sehingga Allah memenangkan peperangan mereka.”
Adapun
yang terlarang adalah an-na`yu, yaitu pengumuman kematian yang disertai
tangisan, penyebutan kebaikan si mayit secara berlebihan, karena an-na`yu
merupakan kebiasaan Jahiliyyah ketika ada kematian seorang yang dianggap
berpengaruh, mereka mengutus penunggang kuda menuju kabilah-kabilah sambil
menangis dan meratapi si mayit dengan berteriak, “Binasalah kita orang-orang
Arab karena si fulan telah meninggal.”
Menyebutkan kebaikan si mayit secara berlebihan atau malah
berdusta mengatakan si mayit berbuat kebaikan padahal si mayit semasa hidupnya
tidak melakukan kebaikan yang disebutkan, maka ini terlarang secara mutlak.
Yang diperbolehkan adalah sekedar menyebutkan kebaikan si mayit apa adanya, hal
ini didasari oleh riwayat Al-Bukhari no. 1583, tentang apa yang dilakukan
Rasulullah ketika mengabarkan kematian raja Najasyi, “Telah wafat hamba Allah
yang shalih.”
Sementara itu, mengumumkan
kematian dengan mengeraskan suara juga menjadi perselisihan para ulama. Pendapat pertama, sebagaimana dikatakan
beberapa penganut madzhab Hanafi, bahwa hal itu diperbolehkan dan tidak makruh
dengan syarat tanpa disebutkan kebaikan-kebaikan si mayit secara berlebihan.
Alasan mereka adalah hal itu dapat memperbanyak jama’ah yang menshalatkan dan mendoakan si mayit. Pendapat kedua, seperti digelontorkan oleh mayoritas penganut
madzhab Hanafi, Maliki, Asy-Syafi’i, dan Hanbali,
bahwa hal itu makruh, dengan dalil dua hadits dari Hudzaifah dan Ibnu Mas’ud di
atas.
Di sini yang rajih adalah
pendapat kedua. Karena, sebagaimana diungkapkan Ibnu Hajar dalam Fat-h Al-Bari 3/117, bentuk mengumumkan kematian ala jahiliyyah adalah
dengan mengangkat suara (berteriak), disertai meratapi dan menyebut-nyebut
kebaikan dengan berlebihan serta memuji-muji si mayit, maka sekedar mengeraskan
suata ketika mengumumkan kematian adalah salah satu bagian dari tradisi
jahiliyyah.
Kemudian, soal mengumumkan
kematian di media massa dan komunikasi, terdapat dua bentuk; Pertama, hanya sekedar memberitahukan
kematian tanpa ditambah dengan meratapi dan memuji secara berlebihan, maka
hukumnya boleh, sebagaimana Rasulullah mengabarkan kematian raja Najasyi dan kematian
para pemimpin perang. Kedua, jika
disertai dengan memuji secara berlebihan, maka terlarang dan termasuk an-na`yu.
Pernah pula terjadi seorang khathib mengumumkan kematian ketika ia sedang
berkhuthbah. Status hukumnya juga terbagi menjadi dua. Pertama, jika
pengumuman kematian tersebut dibutuhkan manusia, tanpa disertai an-na`yu, maka
hukumnya boleh. Hal ini didasari perbuatan Rasulullah sebagaimana disebutkan
dalam riwayat Al-Bukhari dari Anas yang terdahulu.
Kebolehan perkara ini juga dikuatkan perbuatan Abu Bakr, tatkala Rasulullah
meninggal dunia, dan manusia merasa kehilangan bahkan hampir-hampir iman
sebagian shahabat runtuh ketika mendengar kabar menyedihkan ini. Abu Bakr masuk
ke tempat Rasulullah, setelah ada kepastian akan wafatnya Rasulullah. Abu Bakr
berdiri berkhuthbah, di antara isi khuthbah Abu Bakr waktu itu adalah,
أَمَّا بَعْدُ فَمَنْ كَانَ
مِنْكُمْ يَعْبُدُ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّ
مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ مَاتَ وَمَنْ كَانَ يَعْبُدُ
اللَّهَ فَإِنَّ اللَّهَ حَيٌّ لَا يَمُوتُ
“Wa ba’d,
barangsiapa menyembah Muhammad, maka Muhammad telah wafat, dan barangsiapa
menyembah Allah, maka Allah Mahahidup.” Kisah ini diriwayatkan Al-Bukhari dalam
kitab shahihnya nomor 4454.
Kedua, jika pengumuman kematian tersebut tidak dibutuhkan, atau manusia tidak
merasa kehilangan dengan kematian itu, atau khathib mengumumkan kematian dengan
model an-na`yu, maka jelas hukumnya tidak boleh.
Mungkin ada yang ingat tradisi baru-baru ini, yakni seminar biografi tokoh
yang telah wafat, di mana dalam acara itu disebutkan kisah hidup sang tokoh
semenjak lahir hingga wafat. Hukumnya tidak terlepas dari dua bentuk. Pertama,
jika acara ini digelar saat kematian terjadi, sebelum reda perasaan kehilangan,
dan menimbulkan kesedihan baru yang semakin mendalam atas kematian, serta
menjadikan orang-orang berbuat yang terlarang seperti berteriak histeris,
meratapi si mayit, maka ini termasuk an-na`yu, dan hukumnya terlarang.
Sementara maqashid asy-syari’ah yang ada adalah meredam luka hati dan
kesedihan serta berusaha menjadikan sabar atas kematian yang terjadi. Hal itu
telah direalisir melalui ta’ziyyah kepada keluarga yang ditinggal mati, guna
meredakan kesedihan bukan untuk menambah kesedihan.
Kedua, jika acara ini digelar setelah penyelenggaraan perawatan jenazah, yaitu
ketika kesedihan sudah hilang dan diperkirakan tidak akan timbul kembali, serta
acara ini diniatkan untuk meneladani sifat baik sang tokoh yang memang
benar-benar termasuk orang yang bertaqwa kepada Allah, maka diperbolehkan
dengan syarat tidak disertai hal-hal yang dilarang syari’ah. Hal ini didasari
atas perbuatan ‘Umar bin Al-Khaththab yang pernah berkhuthbah jum’at dimana
beliau mengenang kehidupan Rasulullah dan Abu Bakar, sebagaimana telah
diriwayatkan Muslim no. 567, dari Ma’dan bin Abu Thalhah bahwasanya ‘Umar bin
Al-Khaththab berkhuthbah pada hari jum’at, lalu ia menyebutkan tentang Nabi
Allah dan menyebutkan tentang Abu Bakar.
Kesimpulannya, apapun ragam pengumuman kematian,
sepanjang tidak mengandung an-na`yu dan hal lain yang terlarang, maka
diperbolehkan.Artikel brillyelrasheed.blogspot.com dan brillyelrasheed561.wordpress.com
Artikel ini sudah pernah dimuat di Majalah Islam Nasional Ar-Risalah (www.arrisalah.net)
Komentar Anda sangat berharga bagi kami. Jika Anda mendukung gerakan kami, sampaikan dengan penuh motivasi. Jangan lupa, doakan kami agar istiqamah beramal dan berdakwah. Klik juga www.quantumfiqih.com dan goldenmanners.blogspot.co.id