Perubahan Bentuk Warisan
https://brillyelrasheed.blogspot.com/2014/06/perubahan-bentuk-warisan.html
Jika seorang bapak membagikan
hartanya sebelum meninggal dunia, maka harus dirinci terlebih dahulu :
Pertama : Jika pembagian harta tersebut
dilakukan dalam keadaan sehat wal afiyat, artinya tidak dalam keadaan sakit
yang menyebabkan kematian, maka pembagian atau pemberian tersebut disebut Hibah
( harta pemberian ), bukan pembagian harta warisan. Adapun hukumnya adalah
boleh. ( Ibnu Rusydi,
Bidayat al Mujtahid wa Nihayah al Maqasid, Beirut, Dar al Kutub al Ilmiyah, 2/
327 ).
Kedua : Adapun jika pembagiannya
dilakukan dalam keadaan sakit berat yang kemungkinan akan berakibat kematian,
maka para ulama berbeda pendapat di dalam menyikapinya :
Mayoritas ulama berpendapat bahwa
hal tersebut bukanlah termasuk katagori hibah, tetapi sebagai wasiat, sehingga
harus memperhatikan ketentuan sebagai berikut :
1/ Dia tidak boleh berwasiat kepada
ahli waris, seperti : anak, istri , saudara, karena mereka sudah mendapatkan
jatah dari harta warisan, sebagai yang tersebut dalam hadist : “ tidak ada wasiat untuk ahli
waris “ ( HR Ahmad dan Ashabu as-Sunan ). Tetapi dibolehkan
berwasiat kepada kerabat yang membutuhkan, maka dalam hal ini dia mendapatkan
dua manfaat, pertama : sebagai bantuan bagi yang membutuhkan, kedua : sebagai
sarana silaturahim.
2/ Dia boleh berwasiat kepada orang
lain yang bukan kerabat dan keluarga selama itu membawa maslahat.
3/ Wasiat tidak boleh lebih dari
sepertiga dari seluruh harta yang dimilikinya.
4/ Wasiat ini berlaku ketika
pemberi wasiat sudah meninggal dunia.
Ada sebagian ulama yang menyatakan
kebolehan seseorang untuk membagikan hartanya kepada anak-anaknya atau ahli
warisnya dalam keadaan sakit, dan tetap disebut hibah, bukan wasiat. Maka jika
dia mengambil pendapat ini, maka dia harus memperhatikan ketentuan-ketentuan di
bawah ini :
1. Pemberian ini sifatnya mengikat,
artinya harta yang dibagikan tersebut langsung menjadi hak anak-anaknya atau
ahli warisnya, tanpa menunggu kematian orang tuanya.
2. Sebaiknya dia membagikan
sebagian saja hartanya, tidak semuanya. Adapun hartanya yang tersisa dibiarkan
saja hingga dia meninggal dunia dan berlaku baginya hukum harta warisan.
3. Semua ahli waris harus
mengetahui jatah masing-masing dari harta warisan menurut ketentuan syari’ah,
setelah itu dibolehkan bagi mereka untuk membagi harta pemberian orang tua
tersebut menurut kesepakatan bersama( tanpa ada unsur paksaan atau pekewuh)
Jika seorang bapak membagikan
hartanya kepada anak-anaknya dalam keadan sehat wal afiat, sebagaimana telah
diterangkan di atas, maka dibolehkan baginya untuk membagi seluruh hartanya.
Apakah pembagian tersebut harus
sama besarnya antara satu anak dengan lainnya, atau antara laki-laki dan
perempuan, ataukah harus dibedakan antara satu dengan yang lainnya ?
Para ulama berbeda pendapat di
dalam masalah ini, mayoritas ulama menyatakan bahwa semua anak harus disamakan,
tidak boleh dibedakan antara satu dengan yang lainnya. ( Ibnu Juzai, al Qawanin al
Fiqhiyah, Kairo, Daar al hadits, 2005 ,hlm : 295 ) Sedangkan ulama
hanabilah ( para pengikut imam Ahmad ) menyatakan bahwa pembagian harus
disesuaikan dengan pembagian warisan yang telah ditentukan dalam al Qur’an dan
hadist.
Tetapi pendapat yang lebih tepat
adalah dirinci terlebih dahulu, yaitu sebagai berikut :
Pertama : jika tidak ada unsur yang
membedakan antara mereka, seperti semua anak masih kecil-kecil semua, sebaiknya
disamakan, agar terjadi keadilan.
Dalilnya adalah beberapa hadits di
bawah ini :
1/ Hadist Nu’man Bin Basyir yang
datang kepada nabi Muhammad shollahu ‘alaihi wa sallam, seraya berkata : “ Ya Rasulullah, aku memberikan
sesuatu ini kepada anakku. Kemudian Rasulullah bertanya : “ Apakah semua anakmu
kamu beri seperti itu “ ? “ Tidak Ya Rasulullah “ : Jawab Nu’man. “ Kalau
begitu cabut kembali pemberian tersebut “ ! Kata Rasulullah. ( HR
Bukhari dan Muslim )
2/ “ Bertaqwalah kepada Allah dan berbuatlah adil
diantara anak-anak kalian “ ( HR Bukhari dan Muslim )
3/ “ Perlakukanlah sama antara anak-anakmu, jika
dibolehkan untuk membedakan tentunya aka akan lebih memperhatikan perempuan. “ (
HR Said bin Mansur, dihasankan Ibnu Hajar )
( DR. Wahbah Az-Zuhaili, al Fiqh al-Islami, Damaskus, Dar al Fikr, 1989, Cet ke
3, Juz :5, hlm : 34-35)
Kedua : jika ada hal yang menuntut untuk
dibedakan karena ada unsur maslahatnya, maka dibolehkan untuk membedakan antara
anak satu dengan yang lainnya, seperti anak yang satu sudah menikah dan
mempunyai tanggungan istri dan anak, sedangkan dia termasuk orang yang
membutuhkan bantuan, maka anak ini boleh diberikan jatah lebih banyak. Apalagi
anak yang lain masih kecil-kecil dan belum mempunyai banyak keperluan. Dalilnya
adalah apa yang dilakukan oleh Abu bakar as Siddiq terhadap anaknya Aisyah ra,
ketika memberinya harta yang lebih ( 20 wisq ) dari anak-anaknya yang lain.
Sebagian ulama menyatakan jika seorang ayah
memberikan salah satu anaknya uang yang cukup banyak, seperti membantunya di
dalam membayarkan mahar pernikahannya, atau membayarkan uang perkulihannya,
maka seharusnya dia juga memberikan kepada anak-anaknya yang lain dalam jumlah yang
sama. Tetapi, jika sebagian dari anaknya menderita cacat seperti buta, atau
lumpuh kakinya, sehingga tidak bisa bekerja dengan maksimal, maka dibolehkan
bagi orang tua untuk memberinya lebih dari anak-anaknya yang lain. ( Majalah Al Azhar, Kairo , edisi III, tahun
ke- 14 )
Komentar Anda sangat berharga bagi kami. Jika Anda mendukung gerakan kami, sampaikan dengan penuh motivasi. Jangan lupa, doakan kami agar istiqamah beramal dan berdakwah. Klik juga www.quantumfiqih.com dan goldenmanners.blogspot.co.id