Perubahan Bentuk Warisan


Jika seorang bapak membagikan hartanya sebelum meninggal dunia, maka harus dirinci terlebih dahulu :
Pertama : Jika pembagian harta tersebut dilakukan dalam keadaan sehat wal afiyat, artinya tidak dalam keadaan sakit yang menyebabkan kematian, maka pembagian atau pemberian tersebut disebut Hibah ( harta pemberian ), bukan pembagian harta warisan. Adapun hukumnya adalah boleh. ( Ibnu Rusydi, Bidayat al Mujtahid wa Nihayah al Maqasid, Beirut, Dar al Kutub al Ilmiyah, 2/ 327 ).
Kedua : Adapun jika pembagiannya dilakukan dalam keadaan sakit berat yang kemungkinan akan berakibat kematian, maka para ulama berbeda pendapat di dalam menyikapinya :
Mayoritas ulama berpendapat bahwa hal tersebut bukanlah termasuk katagori hibah, tetapi sebagai wasiat, sehingga harus memperhatikan ketentuan sebagai berikut :
1/ Dia tidak boleh berwasiat kepada ahli waris, seperti : anak, istri , saudara, karena mereka sudah mendapatkan jatah dari harta warisan, sebagai yang tersebut dalam hadist : “ tidak ada wasiat untuk ahli waris “ ( HR Ahmad dan Ashabu as-Sunan ). Tetapi dibolehkan berwasiat kepada kerabat yang membutuhkan, maka dalam hal ini dia mendapatkan dua manfaat, pertama : sebagai bantuan bagi yang membutuhkan, kedua : sebagai sarana silaturahim.
2/ Dia boleh berwasiat kepada orang lain yang bukan kerabat dan keluarga selama itu membawa maslahat.
3/ Wasiat tidak boleh lebih dari sepertiga dari seluruh harta yang dimilikinya.
4/ Wasiat ini berlaku ketika pemberi wasiat sudah meninggal dunia.
Ada sebagian ulama yang menyatakan kebolehan seseorang untuk membagikan hartanya kepada anak-anaknya atau ahli warisnya dalam keadaan sakit, dan tetap disebut hibah, bukan wasiat. Maka jika dia mengambil pendapat ini, maka dia harus memperhatikan ketentuan-ketentuan di bawah ini :
1. Pemberian ini sifatnya mengikat, artinya harta yang dibagikan tersebut langsung menjadi hak anak-anaknya atau ahli warisnya, tanpa menunggu kematian orang tuanya.
2. Sebaiknya dia membagikan sebagian saja hartanya, tidak semuanya. Adapun hartanya yang tersisa dibiarkan saja hingga dia meninggal dunia dan berlaku baginya hukum harta warisan.
3. Semua ahli waris harus mengetahui jatah masing-masing dari harta warisan menurut ketentuan syari’ah, setelah itu dibolehkan bagi mereka untuk membagi harta pemberian orang tua tersebut menurut kesepakatan bersama( tanpa ada unsur paksaan atau pekewuh)
Jika seorang bapak membagikan hartanya kepada anak-anaknya dalam keadan sehat wal afiat, sebagaimana telah diterangkan di atas, maka dibolehkan baginya untuk membagi seluruh hartanya.
Apakah pembagian tersebut harus sama besarnya antara satu anak dengan lainnya, atau antara laki-laki dan perempuan, ataukah harus dibedakan antara satu dengan yang lainnya ?
Para ulama berbeda pendapat di dalam masalah ini, mayoritas ulama menyatakan bahwa semua anak harus disamakan, tidak boleh dibedakan antara satu dengan yang lainnya. ( Ibnu Juzai, al Qawanin al Fiqhiyah, Kairo, Daar al hadits, 2005 ,hlm : 295 ) Sedangkan ulama hanabilah ( para pengikut imam Ahmad ) menyatakan bahwa pembagian harus disesuaikan dengan pembagian warisan yang telah ditentukan dalam al Qur’an dan hadist.
Tetapi pendapat yang lebih tepat adalah dirinci terlebih dahulu, yaitu sebagai berikut :
Pertama : jika tidak ada unsur yang membedakan antara mereka, seperti semua anak masih kecil-kecil semua, sebaiknya disamakan, agar terjadi keadilan.
Dalilnya adalah beberapa hadits di bawah ini :
1/ Hadist Nu’man Bin Basyir yang datang kepada nabi Muhammad shollahu ‘alaihi wa sallam, seraya berkata : “ Ya Rasulullah, aku memberikan sesuatu ini kepada anakku. Kemudian Rasulullah bertanya : “ Apakah semua anakmu kamu beri seperti itu “ ? “ Tidak Ya Rasulullah “ : Jawab Nu’man. “ Kalau begitu cabut kembali pemberian tersebut “ ! Kata Rasulullah. ( HR Bukhari dan Muslim )
2/ “ Bertaqwalah kepada Allah dan berbuatlah adil diantara anak-anak kalian “ ( HR Bukhari dan Muslim )
3/ “ Perlakukanlah sama antara anak-anakmu, jika dibolehkan untuk membedakan tentunya aka akan lebih memperhatikan perempuan. “ ( HR Said bin Mansur, dihasankan Ibnu Hajar ) ( DR. Wahbah Az-Zuhaili, al Fiqh al-Islami, Damaskus, Dar al Fikr, 1989, Cet ke 3, Juz :5, hlm : 34-35)

Kedua : jika ada hal yang menuntut untuk dibedakan karena ada unsur maslahatnya, maka dibolehkan untuk membedakan antara anak satu dengan yang lainnya, seperti anak yang satu sudah menikah dan mempunyai tanggungan istri dan anak, sedangkan dia termasuk orang yang membutuhkan bantuan, maka anak ini boleh diberikan jatah lebih banyak. Apalagi anak yang lain masih kecil-kecil dan belum mempunyai banyak keperluan. Dalilnya adalah apa yang dilakukan oleh Abu bakar as Siddiq terhadap anaknya Aisyah ra, ketika memberinya harta yang lebih ( 20 wisq ) dari anak-anaknya yang lain.
Sebagian ulama menyatakan jika seorang ayah memberikan salah satu anaknya uang yang cukup banyak, seperti membantunya di dalam membayarkan mahar pernikahannya, atau membayarkan uang perkulihannya, maka seharusnya dia juga memberikan kepada anak-anaknya yang lain dalam jumlah yang sama. Tetapi, jika sebagian dari anaknya menderita cacat seperti buta, atau lumpuh kakinya, sehingga tidak bisa bekerja dengan maksimal, maka dibolehkan bagi orang tua untuk memberinya lebih dari anak-anaknya yang lain. ( Majalah Al Azhar, Kairo , edisi III, tahun ke- 14 )

Diadaptasi dari www.ahmadzain.com.



Related

Bisnis 8240511236907378058

Posting Komentar

Komentar Anda sangat berharga bagi kami. Jika Anda mendukung gerakan kami, sampaikan dengan penuh motivasi. Jangan lupa, doakan kami agar istiqamah beramal dan berdakwah. Klik juga www.quantumfiqih.com dan goldenmanners.blogspot.co.id

emo-but-icon

Hot in week

Random Post

Blog Archive

Cari Blog Ini

Translate

Total Tayangan Halaman

Our Visitors

Flag Counter

Brilly Quote 1

Brilly Quote 2

Brilly Quote 3

item