Tatkala Zainab Jatuh Cinta



Posisi Zainab di rumah ayahnya ialah sebagai puteri tertua. Ia tumbuh menjadi gadis yang matang dengan cepat sebelum waktunya. Hal itu dikarenakan ia harus membantu ibunya dalam mengasuh adik-adik perempuannya. Saat itu usia sang ibu sudah melewati angka 50 tahun. Dan sudah barang tentu ia kelelahan menghadapi beratnya mengandung dan melahirkan secara beruntun dalam usia kepala 5. Keterlibatan Zainab dalam mengasuh adik-adiknya itu membuat naluri keibuannya matang ketika usianya masing sangat belia.
Sementara Abul Ash sering melihatnya ketika ia datang ke rumah bibinya. Ia terpikat dengan kecantikannya, ketulusan kasih sayangnya, kecerdasannya dan kehalusan budinya.
Terkadang kesibukannya yang banyak menghilangkan kesempatannya untuk bertandang ke rumah bibinya. Terutama pada musim-musim besar ketika kota Makkah kebanjiran rombongan jemaah haji dan pedagang. Di samping itu perjalanan dagangnya yang tiada henti ke utara dan ke selatan pada musim panas dan musim dingin membuat dirinya jauh dari kota Makkah. Terkadang perjalanan itu menghabiskan waktu hingga berbulan-bulan lamanya. Namun ia tetap memandangi kota Makkah dari kejauhan dengan hati yang berdebar-debar dan kerinduan yang berkobar-kobar. Ia menghibur dirinya dengan bayang-bayang gadis kecil yang lembut itu. Wajah cantiknya yang berhias senyuman selalu muncul di matanya. Air mukanya penuh kepolosan yang menawan dan mulia.

Abul Ash tidak pernah lupa bahwa pemuda-pemuda keluarga Hasyim yang terhormat ingin sekali meminang Zainab. Tetapi ia juga mengetahui peluangnya. Ia yakin bahwa dirinya akan mendapatkan bagiannya. Sebab, tidak ada satupun pesaingnya yang memiliki posisi seperti dirinya di rumah Muhammad. Dan tidak ada satupun dari mereka yang memiliki kesempatan untuk mendapatkan cinta Zainab dan memikat hatinya seperti dirinya.
Rasa percaya diri yang kuat membuat Abul Ash enggan memasuki arena perang terbuka dengan para pesaingnya. Ia cukup menitipkan rahasia pentingnya pada bibinya yang sangat penyayang, dan dengan tenangnya ia pergi untuk memperkuat eksistensinya dan membangun kejayaannya, agar ia bisa menjadi pendamping terbaik bagi Zainab.
Kondisi ini memaksanya untuk mengerahkan energi yang tidak sedikit. Dan iapun terpaksa harus pandai memendam perasaannya, menunjukkan kegigihannya dan bersikap hati-hati. Tetapi pada saat yang sama ia mampu membuat Zainab senang dan dekat dengannya, tanpa kewaspadaan dan keengganan. Zainab sudah melihat kepribadian Abul Ash yang ditempa oleh pengalaman dan pengembaraan itu sebagai sesuatu yang bisa dibanggakannya, dalam posisinya sebagai sebagai saudara. Zainab tidak melihat ada seorang pemuda Quraisy yang sebanding dengan Abul Ash dalam hal kekuatan kepribadiannya dan keluasan pengalamannya, kendati ada pemuda-pemuda Quraisy lainnya yang sebanding dengannya dalam hal silsilah keluarganya dan barangkali juga dalam hal kekayaannya.
Abul Ash sudah terbiasa menjadikan rumah Muhammad sebagai kiblatnya setelah Ka’bah setiapkali ia kembali dari bepergian. Dan Zainab pun suka dengan kehadirannya. Zainab senang mendengar kisah-kisah unik yang diperoleh oleh Abul Ash dari sekolah perjalanan. Sepertinya kemampuan Zainab untuk menangkap cerita-cerita perjalanan Abul Ash dan komentar-komentarnya tentang dunia dan manusia merupakan tanda-tanda kecerdasan yang membedakannya dari teman-teman sebayanya.
Terkadang ketika pulang dari perjalanannya Abul Ash membawa perhiasan atau hadiah yang pas untuk Zainab. Dan Zainab pun menerimanya dengan senang hati. Zainab terlihat memberikan sambutan yang baik terhadap benih-benih cinta dan kedekatan yang terjalin di antara mereka.
Begitulah hati Zainab perlahan-lahan terbuka. Ia merasakan sentuhan lembut nan ajaib yang menggetarkan perasaannya dengan lembut dan halus. Sementara ibunya mendampinginya sambil mengamati keterbukaan hati puterinya itu dengan mata yang terjaga sepanjang malam. Tak ada keraguan lagi bahwa sang ibu memberikan restunya bila ternyata Abul Ash mendapatkan hati Zainab. Jika tidak mana mungkin Khadijah menjodohkannya dengan puterinya seandainya hatinya masih tertutup baginya.


Khadijah benar-benar mengerti cinta yang suci dan pernah mereguk madunya yang murni. Dari pengalamannya yang luar biasa –yang oleh kaumnya ketika itu dianggap lebih mirip dengan petualangan yang beresiko tinggi- Khadijah muncul dengan semangat yang hebat terhadap pernikahan yang didasari rasa saling mencintai. Dan Khadijah juga memiliki keyakinan yang lebih dalam bahwa cinta itu adalah karunia terbesar yang diberikan langit kepada orang-orang yang dijanjikan menjadi orang-orang yang bahagia.
Sang bunda berbunga-bunga hatinya. Maka ia memberitahu suaminya perihal perasaan terindah yang menyentuh hati puteri pertamanya itu. Hati sang ayah yang mulia itu langsung luluh kepada dua insan yang saling mencintai. Ia berharap aga keduanya bisa mereguk kebahagiaan dalam kehidupan rumah tangga mereka dari sumber yang berlimpah dan penuh berkah itu. Karena dari sumber itulah ia mereguk kebahagiaan rumah tangganya selama bertahun-tahun tanpa pernah surut ataupun jemu.
Saat itulah sang ibu setuju apabila keponakannya itu menemui ayah Zainab untuk meminangnya. Semula Khadijah ingin menunda pernikahan mereka barang sesaat agar puterinya bisa mendampinginya lebih lama. Akan tetapi Khadijah melihat gelagat pemuda-pemuda Quraisy yang berambisi menjadi menantu Al-Amin dari Bani Hasyim itu. Khadijah khawatir kalau ia menunda pernikahan itu mereka akan mendahului Abul Ash menyunting Zainab, lalu ada sesuatu yang tidak disukainya pada suami puterinya.
Muhammad menerima kedatangan Abul Ash dengan baik seperti yang biasa dilakukannya. Muhammad mendengarkan dengan seksama ketika Abul Ash menyampaikan keinginannya untuk menikahi Zainab. Kemudian jawabannya ialah bahwa Abul Ash merupakan menantu yang pantas. Namun demikian Muhammad meminta waktu kepada Abul Ash untuk menyampaikan keinginan itu kepada puterinya. Karena dialah yang berhak memutuskan urusan jodohnya.

Sebenarnya sang ayah yang mulia itu sudah tahu bagaimana perasaan puterinya itu kepada Abul Ash, dan bagaimana pendapatnya tentang dia. Meskipun dia sudah mengetahui semuanya, tetapi dia tidak mau memutuskan masalah itu sendiri tanpa melibatkan puterinya. Di luar itu semua ia tidak ingin puterinya menghadapi situasi yang menyesakkan dada bila harus berhadapan langsung. Maka ia menyuruh ibunya agar mendahuluinya menemui puterunya. Kemudian ia menyusulnya dan mendekati kamarnya. Ia berhenti di dekat kamar itu tanpa sepengetahuan puterinya. Dan dengan suara yang penuh kasih dan sayang ia berkata: “Anakku, Zainab! Anak bibimu, Abul Ash bin Rabi’ melamarmu.” 


Dikutip dari buku Biografi Para Puteri Nabi, PT. EFMS, Surabaya, Jawa Timur. Dapatkan di toko kesayangan!

Related

Motivasi 3335009581770805187

Posting Komentar

Komentar Anda sangat berharga bagi kami. Jika Anda mendukung gerakan kami, sampaikan dengan penuh motivasi. Jangan lupa, doakan kami agar istiqamah beramal dan berdakwah. Klik juga www.quantumfiqih.com dan goldenmanners.blogspot.co.id

emo-but-icon

Hot in week

Random Post

Blog Archive

Cari Blog Ini

Translate

Total Tayangan Halaman

Our Visitors

Flag Counter

Brilly Quote 1

Brilly Quote 2

Brilly Quote 3

item